Sebagai penikmat tayangan sepak bola, mengetahui Liverpool yang akhirnya bisa memenangi trofi English Premier League di musim 2019/20—setelah tiga puluh tahun penantian—menjadi hal yang menarik untuk dicari tahu lebih lanjut. Saya pun akhirnya menemukan buku berjudul Believe Us: How Jürgen Klopp Transformed Liverpool into Title Winners yang ditulis oleh Melissa Reddy.
Buku berjudul Leading ini menjelaskan tentang cara dan prinsip Sir Alex Ferguson (selanjutnya SAF) sebagai manajer di empat klub sepak bola yang pernah ia tangani. Lebih khusus, ketika ia menjadi manajer Manchester United (1986-2013). Pada empat tahun pertama, ia memang belum bisa memberikan trofi dan hampir dipecat oleh para petinggi di sana. Namun, karena ia tetap percaya pada tekad dan keyakinannya, akhirnya Manchester United mendapatkan trofi pertama di bawah manajerialnya pada musim 1990/91. Kemudian, sampai ia pensiun, 38 trofi sudah ia raih dan menjadikannya salah satu manajer terhebat di Liga Primer Inggris.
Saya mulai mengetahui Cristiano Ronaldo (selanjutnya CR7) pada 2003 silam ketika ia pindah ke Manchester United. Setelah itu, yang membuat takjub adalah ia menggantikan Beckham untuk memakai nomor punggung tujuh yang dianggap sakral. Ia berada di Manchester United selama enam tahun, sampai pada akhirnya di tahun 2009 ia pindah ke Real Madrid, lalu hijrah ke Juventus sembilan tahun kemudian.
Sejak memasuki usia dua puluh dua tahun, khususnya ketika mulai mengerjakan skripsi di tahun terakhir perkuliahan, saya jadi sering meremehkan waktu tidur. Tak disangka, kebiasaan tidur di atas pukul dua belas malam jadi terbawa sampai saat ini. Padahal, ketika masih kecil sampai SMA, rasa ngantuk sudah muncul sekitar pukul sembilan malam. Dari kejadian tersebut, saya pun memilih membaca buku ini karena penasaran melihat judulnya yang membahas tentang tidur.
Ketika umur saya masih belasan tahun, saya mencari sarana untuk menuangkan isi hati dan pikiran. Sebenarnya saat itu sudah ada media sosial seperti Facebook dan Twitter yang biasanya menjadi tempat curhat, tapi saya merasa kurang nyaman karena curhatan saya akan langsung dilihat oleh orang-orang yang mengikuti atau yang berteman dengan saya. Lalu, saya mencari media yang sebenarnya masih tetap bisa dibaca secara umum, tapi yang membacanya tidak "terpaksa" karena tiba-tiba muncul di beranda mereka. Lantas, saya mulai mengenal blog dari seorang teman dan memutuskan untuk menulis di sana. Sebab, saya merasa blog memiliki alamat web-nya sendiri sehingga saya tak perlu khawatir dilihat banyak orang, kecuali memang orang tersebut yang memutuskan untuk membacanya. Tak terasa, ternyata sudah satu dekade blog ini ada.
Kisah Spider-Man dalam bentuk komik, game, novel, film, dan medium lain memang masih akan terus bermunculan dengan beragam versi. Pada 2018 lalu, Insomniac Games merilis game Spider-Man untuk Playstation 4 yang membuat penggemar superhero tersebut tak sabar untuk memainkannya. Dengan kostum yang berbeda dan terbaru dari berbagai versi sebelumnya, membuat game tersebut jadi lebih menarik.
Kemudian, ternyata di game tersebut diterbitkan juga novel prequel-nya berjudul Marvel’s Spider-Man: Hostile Takeover. Saya, sebagai salah satu penggemar si Manusia Laba-Laba, baru mengetahui novel itu pada 2020, sehingga saya pun langsung membelinya di toko daring. Untuk versi game-nya, saya memang belum ada rencana untuk membeli Playstation 4 atau 5, jadi mungkin kalau penasaran tentang kelanjutan kisahnya, saya bisa menonton game-nya di Youtube.
Serial Game of Thrones pertama kali saya ketahui pada 2015 dari salah satu teman kuliah. Dari sana, saya pun mencoba menontonnya di HBO dan ternyata merasa seru. Namun, karena saat itu penayangannya berdasarkan musim, jadi saya baru menontonnya dari musim pertama sampai keempat (2011-2014); sedangkan pada musim kelima sampai kedelapan, saya harus rela bersabar menunggu. Lantas, ketika musim terakhir ditayangkan pada 2019, ternyata serial tersebut berakhir dengan ketidakpuasan yang saya rasakan; karena berdasarkan novel serialnya, buku terakhir masih dalam proses oleh George R.R. Martin, sehingga akhir serial tersebut hanya diadaptasi oleh David Benioff dan D.B. Weiss dari novel yang terakhir terbit.
Karena rasa kurang puas tersebut, maka pada akhir 2020, saya membeli serial novelnya yang berjudul A Song of Ice and Fire (volume pertama sampai kelima). Namun, karena daftar buku yang saya baca saat itu masih menumpuk, jadi saya baru membaca volume pertama yang berjudul sama dengan serial TV-nya pada Mei 2021 dan selesai sebulan setelahnya.
Novel ini setelah saya baca ternyata memiliki delapan sudut pandang dari tokohnya sebagai judul bab, yaitu dari Eddard Stark, Bran Stark, Catelyn Stark, Sansa Stark, Arya Stark, Jon Snow, Tyrion Lannister, dan Daenerys Targaryen. Masing-masing memiliki jalan ceritanya sendiri, tapi sebenarnya saling berhubungan.
Meskipun buku memoar berjudul Educated ini adalah tentang perjuangan Tara Westover dalam mendapatkan pendidikan yang layak, saya lebih memperhatikan bagaimana ia bisa lepas dari keluarganya yang toksik. Sebab, ayahnya adalah penganut agama yang fanatik dan menganggap bahwa segala hal yang tidak sepaham dengannya adalah salah dan penganut Iluminati; atau konspirasi elite global jika dihubungkan dengan konteks saat ini. Ya, saya jadi seperti tak asing dengan pola pikir tersebut.
Meskipun buku Indonesia for Sale ditulis pada 2009 dan di masa Pemerintahan SBY, tetapi saya merasa pembahasannya masih tetap relevan sampai saat ini. Sebab, bagi saya yang bukan lulusan ilmu ekonomi atau politik di perguruan tinggi, memahami arti neoliberalisme yang dijelaskan di sini cukup membuat saya paham. Ditulis dengan percakapan fiksi masyarakat pinggiran, tukang parkir dan penjaga toilet umum, Dandhy dengan santai tapi tetap mendalam menjelaskan bahwa neoliberalisme—jika disederhanakan dalam praktik sehari-hari—, yaitu ketika kita harus mengeluarkan uang untuk hal remeh, seperti biaya parkir dan toilet umum.
Selain itu, dijelaskan juga sejarah dari pemikiran Adam Smith sampai para ahli ekonomi abad kedua puluh. Betapa sistem ekonomi secara bertahap menjadi semakin materialistis dan berpihak kepada orang-orang kaya. Misalnya, jika kita ingin mendapatkan fasilitas terbaik seperti akses pendidikan, tak dapat dimungkiri kita harus mengeluarkan biaya mahal untuk hal tersebut. Sebab, kita bisa melihat kenyataan secara langsung kepada masyarakat yang kurang beruntung yang tidak sanggup membiayai anaknya sekolah sampai tingkat perguruan tinggi. Padahal, seharusnya negara memudahkan akses pendidikan kepada siapa pun tanpa harus pusing memikirkan seberapa banyak biaya yang harus dikeluarkan.
Itu adalah sedikit permasalahan yang ditimbulkan dari neoliberalisme. Karena di buku ini, kita juga bisa mengetahui permasalahan lain yang saya rasa "lebih berat", seperti tentang sumber daya alam Indonesia yang dieksploitasi oleh negara asing, utang negara yang semakin menumpuk, sampai para politikus yang sering menjadikan BLT (Bantuan Langsung Tunai) sebagai jalan keluar untuk memberantas kemiskinan, padahal kenyataannya... bisa dinilai sendiri. Dengan demikian, bagi yang ingin pikirannya terganggu dengan isu kesejahteraan sosial dan realitas yang sudah terjadi akibat neoliberalisme, buku ini cocok untuk itu.
Setelah serial Game of Thrones tamat pada 2019 dan saya merasa kurang puas dengan akhir ceritanya, saya pun memutuskan untuk mulai membaca serial novelnya di tahun ini. Namun, setelah saya cari informasi dan ulasan di internet, ternyata ada prequel dari serial novel tersebut, maka saya memilih untuk membaca A Knight of the Seven Kingdoms terlebih dulu.
Quentin Jacobsen sudah menyukai Margo Roth Spiegelman sejak kecil. Meskipun jarak rumah dan pertemanan mereka yang dekat, tak membuat Q—panggilan Quentin—mengenal Margo dengan baik; bahkan bisa dibilang Margo adalah perempuan misterius baginya.
Mereka pun beranjak remaja dan perasaan Q terhadap Margo tetap sama. Namun, pertemanan mereka tidak sedekat seperti ketika mereka masih kecil. Q lebih dekat dengan Radar dan Ben, sedangkan Margo memiliki lingkaran pertemanannya sendiri. Lalu, suatu malam tanpa diduga sebelumnya, Margo masuk ke kamar Q lewat jendela dan mengajaknya untuk berpetualang melalui sebelas rencana yang telah ia susun; mulai dari membalas perbuatan Jase—pacar Margo—sampai menyusup ke Sea World.
Petualangan tersebut membuat Q terkesan dan berharap pertemanan mereka bisa dilanjutkan di lingkungan sekolah. Namun, harapan tinggal harapan, karena Margo memutuskan kabur dari rumah setelah itu (perbuatan yang sebenarnya sudah pernah dilakukan sebelumnya) dan membuat orang tuanya panik. Untungnya, ia meninggalkan petunjuk yang coba dilacak oleh Q. Hari demi hari dilakukan Q, Radar, Ben, dan belakangan Lacey ikut bergabung untuk membongkar ke mana Margo kemungkinan pergi. Selanjutnya, setelah bukti dan petunjuk telah dikumpulkan oleh Q, mereka pun nekat menyusuri jarak berkilometer-kilometer jauhnya menaikki minivan Q untuk menemukan Margo.
***
Novel yang cukup menarik bagi saya. Meskipun konflik yang disajikan saya rasa biasa, tetapi proses Quentin dkk. dalam mengungkap petunjuk-petunjuk dari Margo yang membuatnya begitu seru. Selain itu, sudut pandang yang dipakai adalah dari Quentin, membuat saya memahami tekadnya yang kuat supaya ia bisa bertemu lagi dengan Margo—karena perasaan suka yang sudah ia miliki sejak dulu—dan berharap bisa mengajaknya pulang dan berpetualang lagi seperti sebelumnya.
Novel berjudul Nadira karya Leila S. Chudori ini bercerita tentang Nadira dan kehidupannya. Namun, kehidupan yang baik-baik saja bisa berubah drastis ketika ada momen yang menyakitkan; dan itu adalah kematian ibunya. Sejak saat itu, Nadira seakan memasuki lubang gelap dan menjadi pemurung karena belum bisa menerima kenyataan yang terjadi. Di samping itu, sebenarnya ada seorang lelaki sekaligus rekan kerjanya yang menyukainya, bernama Tara. Tara sudah mencoba berbagai cara untuk membuat hati Nadira gembira seperti sebelum kematian ibunya, tetapi Nadira tetap saja menganggap perlakuan tersebut biasa saja dan terkesan tak berarti.
Novel ini berlatar pada abad ketujuh belas ketika para misionaris Katolik dari Portugal berkunjung ke Jepang. Pada awalnya, para misionaris tersebut disambut baik oleh Kekaisaran Jepang. Namun, karena ternyata penyebaran agama selain Buddha di sana semakin meluas, membuat para pemegang kuasa khawatir bakal adanya pemberontakan. Dengan begitu, pemegang kuasa mulai mempersekusi pastor-pastor dari negeri asing. Jika mereka tetap mempertahankan keyakinannya, maka hukuman mati siap menyambut; jika mereka menyangkal, maka akan dibebaskan dan harus menuruti segala aturan yang telah dibuat oleh Pemerintah Feodal Jepang.
Sebastian Rodrigues adalah tokoh utama di cerita fiksi sejarah ini. Ia adalah juga seorang misionaris Katolik. Ketika mendengar bahwa salah satu gurunya, Ferreira, telah murtad karena mendapatkan intimidasi dari Pemerintah Jepang, ia tidak percaya dan ingin bertemu langsung dengannya untuk menjelaskan segala hal yang terjadi. Dengan tekad yang matang, ia dan temannya—Garppe—berangkat dari Portugal menuju Jepang untuk tetap menyebarkan agama yang dianggap sudah terlarang di sana.
Selanjutnya, ketika mereka sudah berada di Jepang, kita bisa merasakan kondisi psikologis dari masing-masing tokoh. Mereka harus sembunyi-sembunyi supaya terhindar dari sorotan masyarakat umum bahwa mereka adalah para misionaris asing. Hanya sedikit penduduk terpercaya yang membantu mereka dan akhirnya menerima konsekuensinya ketika ketahuan meyakini ajaran Katolik. Di sisi lain, ada pergulatan batin tersendiri yang terjadi kepada Rodrigues ketika ia mempertanyakan mengapa Tuhan tetap hening saat para hambanya disiksa oleh Kekaisaran Jepang. Secara perlahan di jalan cerita, kita akan mengetahui keputusan Rodrigues tentang apakah ia akan tetap mempertahankan keyakinannya atau rela menyangkalnya akibat siksaan yang ia derita.
Kisah asmara remaja yang dibumbui dengan isu kesehatan mental memang sungguh menarik. Di novel berjudul All the Bright Places ini, kisahnya berjalan melalui dua sudut pandang anak remaja berumur delapan belas tahun, yaitu dari Theodore Finch dan Violet Markey. Finch memiliki latar belakang dari keluarga broken home dan sering diejek "aneh" serta dirundung oleh teman-temannya di sekolah, sehingga membuatnya jadi depresi. Sedangkan Violet, sejak kakak kesayangannya meninggal akibat kecelakaan mobil, ia jadi merasa kesepian dan juga depresi.
Sepak bola pada zaman modern ini bukanlah sebagai olahraga biasa, tetapi juga menjadi industri tersendiri bagi para pemilik modal. Bagi klub yang memiliki banyak uang, kemungkinan besar untuk mendapatkan trofi dan bertahan di liga utama sangatlah mudah. Sebab, mereka bisa membeli pemain kelas dunia dan menggaji mereka dengan nominal yang tinggi. Sedangkan, bagi klub "kecil" dan tak memiliki banyak uang, berada di liga utama dan tidak terdegradasi saja sudah bersyukur. Inilah kenyataan bahwa kapitalisme memang sudah masuk ke ranah dunia sepak bola.
Selain itu, di buku berjudul Money and Soccer ini juga dijelaskan faktor-faktor apa saja yang menjadi pendapatan dari sebuah klub sepak bola; sebut saja dari hasil tayangan televisi, produk yang menjadi sponsor utama mereka (biasanya dipajang di bagian depan jersey), dan tentu saja kehadiran para pendukung yang datang ke stadion untuk menonton secara langsung. Namun, di sisi lain, kehadiran seorang pemilik modal yang tajir juga bisa menjadi penentu. Salah satu contohnya adalah Manchester City. Sebelum dibeli oleh Sheikh Mansour pada 2008, klub tersebut memang tidak diperhitungkan kehadirannya untuk mengisi posisi empat besar di Liga Primer Inggris. Akan tetapi, secara bertahap dan dengan dukungan finansial yang kuat, klub berwarna biru langit tersebut ternyata bisa segera mendominasi dan mengancam klub-klub yang dulu sering mengisi posisi empat besar, seperti Manchester United, Liverpool, Chelsea, dan Arsenal. Dan, buktinya pada musim 2011/12, mereka berhasil menjuarai Liga Primer Inggris setelah berpuluh-puluh tahun tidak pernah mendapatkan trofi bergengsi itu.
Dengan demikian, bagi para pencinta sepak bola dan ingin mengetahui olahraga tersebut dari sudut pandang ekonomi dan bisnis, saya rasa buku ini sangat cocok untuk menambah referensi tentang hal tersebut.
Pertama kali saya membaca karya Haruki Murakami yaitu pada 2017 silam, berjudul Norwegian Wood. Awalnya, saya mengira bahwa ia adalah pengarang cerita realis, ternyata ia lebih condong dan banyak menghasilkan cerita yang surealis. Karena penasaran, saya pun jadi membaca karya-karyanya yang lain, sebut saja seperti After Dark, Kafka on the Shore, Hear the Wind Sing, dan Pinball, 1973. Dan, benar saja, cerita-ceritanya memang surealis karena tokoh-tokohnya memiliki kehidupan tersendiri terhadap "dunia lain" dan kejadian-kejadian magis lainnya.
Lalu, sekitar sebulan yang lalu, saya mendapatkan buku yang berisi penelitian tentang karya Haruki Murakami. Buku ini disusun berdasarkan karya terakhirnya pada saat itu (2014). Dan, salah satu hasilnya adalah tentang penciptaan "dunia lain" yang sering muncul di novel atau cerpennya. Betapa tokoh utamanya memang sangat suka menjelajahi dunia tersebut untuk mencari makna hidup atau membongkar misteri-misteri yang sedang terjadi. Meskipun demikian, selain fiksi, Murakami juga menulis karya nonfiksi seperti di bukunya yang berjudul Underground. Buku tersebut disusun berdasarkan hasil wawancaranya dengan korban dan pelaku tragedi serangan gas beracun yang dilakukan oleh pengikut sekte Aum Shinrikyo pada 1995 di stasiun kereta bawah tanah Tokyo.
Dengan demikian, bagi pembaca yang ingin mengetahui lebih dalam tentang karya penulis asal Jepang ini, saya rasa buku ini cocok untuk menambah wawasan tentang hal tersebut.
Novelini bercerita tentang kehidupan orang-orang miskin Paisano di Dataran Tortilla. Tokoh utama di sini adalah Danny. Ia merupakan mantan prajurit perang yang hidup menggelandang. Namun, suatu hari, ia mendapatkan warisan berupa dua bangunan rumah dari kakeknya yang sudah meninggal. Berawal dari warisan rumah tersebut, kehidupan Danny pun berubah. Ia jadi memiliki tempat tinggal tetap dan mengajak teman-temannya untuk hidup bersama. Di sana, seperti tidak ada aturan yang berlaku, mereka sering mabuk-mabukkan dan berlaku seenaknya, seperti mencuri barang warga sekitar dan mengadakan pesta secara heboh. Meskipun demikian, kehidupan yang monoton seperti itu malah membuat Danny bosan dan merindukan kehidupan lamanya yang "bebas" tanpa terikat dengan kepemilikian. Jadi, suatu hari, tanpa diketahui oleh teman-temannya yang lain, ia pun memutuskan untuk melakukan hal-hal gila, sehingga membuat teman-teman dan warga sekitar kewalahan.
Membaca novel ini, saya jadi bisa memahami arti persahabatan dan bagaimana kehidupan bebas itu berlangsung. Para tokohnya seperti tak terikat dengan peraturan dan etika yang berlaku di sekitarnya serta hidup dengan motto—yang kurang lebih saya gambarkan—seperti ini: "Nikmati hidup hari ini dan nggak perlu khawatir dengan urusan besok. Bodo amat deh besok kelaperan, yang penting hari ini gue bisa minum anggur sepuasnya dan bisa seneng-seneng bareng sahabat gue". Tentunya, kebanyakan anggur yang mereka dapatkan adalah hasil dari mencuri atau menipu.
Kehidupan seekor anjing bisa berubah drastis hanya dengan satu pengkhianatan oleh manusia yang merawatnya. Ya, inilah yang dirasakan oleh Buck di dalam novel The Call of the Wild ketika ia secara diam-diam dijual oleh salah satu penjaganya. Sebelumnya, ia adalah anjing rumahan yang mendapatkan fasilitas yang aman dan nyaman dari majikannya. Namun, setelah ia dipisahkan dari tempat tinggalnya dan berada di tempat asing yang sangat jauh, secara terpaksa ia harus beradaptasi dengan lingkungan barunya.
Dengan pukulan dari tongkat untuk membuatnya jinak, Buck diperlakukan semena-mena oleh orang asing yang membelinya. Ia pun jadi menyadari bahwa kehidupannya telah berubah drastis. Tidak ada lagi yang namanya "anjing rumahan", yang ada sekarang adalah "anjing liar" yang harus tahan banting akibat seringnya serangan fisik yang dideritanya, baik itu dari majikan barunya atau dari anjing lain yang baru bergabung. Ia menyadari secara bertahap bahwa ia kembali kepada cara hidup nenek-moyangnya—sebelum didomestikasi oleh manusia—yang harus bisa bertahan di alam liar. Karena jika ia tidak bisa bersikap adaptif, maka kematian akan siap menyambutnya.
Membaca novel ini, saya jadi memahami bahwa terkadang hidup memang penuh dengan "kejutan". Bisa saja hari ini kita hidup dengan nyaman dan segala hal terpenuhi; tapi karena satu dan lain hal, kehidupan kita berubah drastis dan menjadi serba kekurangan. Hidup, seringkali, bukanlah tentang pilihan, tetapi adalah penerimaan atas "skenario" yang diberikan oleh Semesta. Dengan demikian, jika sudah terjadi seperti itu, maka yang bisa dilakukan adalah beradaptasi dengan suasana baru serta memikirkan solusi atas permasalahan yang sedang dialami supaya hidup tetap nyaman untuk dijalani.
Buku berjudul The Courage to be Disliked ini disusun dengan format tanya-jawab antara si pemuda (youth) dengan filsuf (philosopher). Si pemuda yang sering mengalami ketidakpuasan hidup, memilih untuk sering mendatangi sang filsuf untuk bertukar pikiran, bahkan si pemuda tak ragu membantah jika ada pernyataan yang kurang disetujui atau dirasa tidak memuaskan. Namun, sang filsuf secara perlahan memberikan penjelasan dengan jelas supaya si pemuda bisa memahami keseluruhan yang ia sampaikan.
Beberapa penjelasan yang dijelaskan oleh sang filsuf adalah tentang penerimaan diri ketika dunia terasa tidak memihak kita; tentang bagaimana seharusnya seseorang berkontribusi kepada masyarakat; tentang menjalani hidup sekarang, bukan menyesali kehidupan masa lalu dan membayangkan masa depan; dan tentang hidup yang—secara umum—sebenarnya tidak ada maknanya, melainkan kita sendirilah yang memberikan makna kepada hidup ini.
Saya pun sebagai pembaca memang harus pelan-pelan meresapi setiap pernyataan dari sang filsuf. Sebab, apa yang ia katakan berasal dari psikologi Adlerian yang memang kurang populer bagi kebanyakan orang. Dengan demikian, membaca buku ini menambah wawasan baru bagi saya tentang bagaimana sebaiknya kita menjalani dan memaknai proses hidup yang terkadang memang tidak sesuai dengan harapan.
Venom—yang dikenal jahat oleh sebagian besar masyarakat di San Fransisco—ingin membuktikan bahwa ia sudah berubah menjadi lebih baik dan bertekad untuk melindungi manusia dari kejahatan. Meskipun, jika ada penjahat yang muncul, ia langsung membunuhnya tanpa rasa ampun. Hal itu yang membuat Spider-Man geram dan belum percaya bahwa Venom telah berubah ke arah positif.
Salah satu konflik yang dimunculkan di sini adalah ketika Eddie Brock tak sengaja bertemu dengan beberapa tunawisma yang tinggal di emperan toko, tapi kemudian mengajaknya ke tempat rahasia di bawah tanah. Di daerah bawah tanah itu terdapat kehidupan yang harmonis dan damai. Jadi, ketika para warga di sana mengetahui bahwa Eddie adalah Venom, mereka menolak keberadaannya, sehingga ia pun meninggalkan tempat itu dan berkelana kembali tanpa tujuan. Namun, di sisi lain, ada Roland Treece yang ingin mencari tahu tempat rahasia tersebut. Ia ternyata mendapatkan informasi bahwa ada tumpukan emas yang tersembunyi di sana.
Eddie yang sempat berhadapan dengan Treece pun bertekad untuk melindungi orang-orang yang berada di tempat rahasia itu untuk membuktikan bahwa ia memang sudah berubah menjadi baik. Selain itu, ia juga ditemani oleh Spider-Man—yang awalnya berniat untuk menangkap Venom supaya ia dibawa ke pengadilan—dalam menggagalkan rencana Treece.
Akhir-akhir ini, berita tentang salah satu produk di bawah Facebook, yaitu WhatsApp, mencuat karena mereka ingin mengakses data pribadi pengguna supaya bisa dijadikan informasi untuk pengiklanan. Jadi, untuk memahami kasus tersebut, saya memutuskan untuk membaca buku berjudul Zucked: Waking Up to the Facebook Catastrophe ini.
Di sini, penulis mengkritisi tentang kebijakan Facebook yang dirasa sangat kurang dalam menjaga data pengguna dari pihak ketiga atau para peretas. Selain itu, platform ini juga sering dijadikan penyebaran berita hoaks dan propaganda terhadap isu tertentu, sebut saja masalah pembantaian etnis Rohingya di Myanmar. Penulis juga menyoroti masalah politik yang ada di negaranya, Amerika Serikat, pada Pilpres 2016 lalu. Betapa Facebook sangat berperan dalam menggiring opini publik di sana akibat pihak Rusia ikut campur untuk memberikan informasi yang sembarangan.
Ada juga masalah algoritma yang membuat pengguna akan mengakses informasi yang disuka secara terus menerus. Contohnya, ketika ada pengguna yang memercayai bahwa bumi itu datar, maka algoritma Facebook akan menunjukkan tampilan yang didominasi oleh informasi tentang dukungan kepada teori bumi datar, bukan informasi yang membantah teori tersebut. Dikhawatirkan, bagi pengguna yang kurang kritis pikirannya, ketika mengakses media sosial malah tetap memercayai berita yang salah, sehingga menolak berita yang akurat dan kredibel.
Dengan demikian, buku ini memberikan gambaran bagaimana perusahaan teknologi seperti Facebook mengelola data pribadi pengguna dan sikap mereka terhadap masalah yang terjadi; sehingga, saya pun bisa lebih waspada dan hati-hati ketika mengakses media sosial.
Menjadi superhero, selain membutuhkan fisik yang kuat, membutuhkan mental yang tangguh juga. Sebab, salah satu contohnya, jika ia tidak pandai untuk menyembunyikan identitasnya, kemungkinan besar para musuhnya akan mengincar orang-orang terdekatnya untuk dijadikan sandera supaya si superhero bertekuk lutut atau tidak berkutik. Melihat orang terdekatnya disiksa atau ditawan, bisa dipastikan mental si superhero akan melemah, sehingga musuhnya pun bisa segera mengalahkannya.