Hasil pertandingan imbang antara Fulham melawan Manchester United.
(Sumber gambar: x.com/ManUtd)
Sebagian besar suporter Manchester United pasti berharap bahwa tim kesayangan mereka akan menunjukkan performa yang lebih baik dan mengesankan setelah dikalahkan Arsenal pada minggu lalu. Namun, kenyataan memang pahit. Ketika MU bertandang ke Craven Cottage melawan Fulham, apa yang seharusnya menjadi perburuan poin mudah berubah menjadi drama emosional, sehingga meninggalkan pertanyaan: mengapa tim ini masih terjebak dalam bayang-bayang ketidakpastian, meski menunjukkan komposisi pemain yang meyakinkan?
Performa Manchester United di laga ini menunjukkan campuran antara potensi yang menjanjikan dan kelemahan yang menyakitkan. Di bawah manajerial Ruben Amorim, MU tampil dominan di babak pertama, menggerakkan bola dengan cepat di mana pemain seperti Mason Mount, Matheus Cunha, dan Bryan Mbeumo mampu menguasai bola dengan baik. Namun, gol pembuka yang seharusnya datang dari peluang emas, malah gagal diciptakan oleh tendangan penalti Bruno Fernandes di menit ke-33. Kapten MU itu, yang biasanya mampu mencetak gol dari tendangan penalti, melakukan kesalahan fatal: tendangan kencang ke pojok kiri atas melambung tinggi di atas mistar. Selain membuang peluang, momen ini juga menjadi pukulan telak bagi MU untuk mengamankan jumlah gol.
Meskipun demikian, MU berhasil unggul di menit ke-58 melalui gol bunuh diri Rodrigo Muniz yang terkena pantulan bola akibat sundulan Leny Yoro dari sepak pojok Mbeumo. Gol ini seolah menebus kegagalan penalti Fernandes, dan sejenak, MU tampak siap mengamankan tiga poin penuh. Namun, performa mereka pasca-gol menurun drastis. Amorim mengkritik timnya karena "melupakan cara bermain" setelah unggul, lebih fokus mempertahankan hasil daripada menguasai permainan. Hal ini membuka celah bagi Fulham, yang semakin mendomniasi permainan berkat keputusan cerdas Marco Silva. Emile Smith Rowe, yang baru masuk sebagai pengganti, langsung mencetak gol penyama dari sentuhan pertamanya, menyambut umpan silang Alex Iwobi dengan baik. Ini menunjukkan bagaimana MU gagal mempertahankan intensitas, terutama di lini tengah dan depan, di mana pemain baru seperti Benjamin Šeško masih beradaptasi. Šeško, yang masuk di menit ke-53, hanya mencatatkan 15 sentuhan bola dan nol tembakan akibat pertahanan Fulham yang ketat serta membatasi ruang geraknya.
Salah satu sorotan positif dari performa MU adalah kontribusi Mason Mount, yang memberikan keseimbangan dalam skema 3-4-2-1 ala Amorim. Mount tidak hanya mengalirkan serangan dengan baik, tetapi juga disiplin dalam bertahan. Penampilannya yang konsisten (seperti melawan Arsenal di pekan sebelumnya) menimbulkan dilema bagi Amorim: siapa yang harus dicadangkan ketika Šeško, Mbeumo, dan Cunha sama-sama siap untuk dimainkan? Tanpa kompetisi Eropa di musim ini, menjaga mood pemain bintang supaya mereka mendapatkan waktu bermain yang adil akan menjadi tantangan, tetapi Mount membuktikan dirinya sebagai pemain yang siap diturunkan kapan saja oleh Amorim. Di sisi lain, pemain seperti Casemiro dan Amad yang digantikan lebih awal menunjukkan bahwa rotasi masih menjadi eksperimen, dan tim belum sepenuhnya menunjukkan kekompakan.
Secara keseluruhan, hasil imbang ini mencerminkan perjalanan awal musim MU yang terlihat menjanjikan tetapi belum matang secara performa. Amorim menekankan bahwa timnya menciptakan banyak peluang dan akan segera mencetak gol lebih banyak, tapi ia juga mengakui kekurangan supaya menjadi lebih baik dalam mempertahankan penguasaan bola. Bagi Fulham, gol Smith Rowe menjadi bukti kekuatan pemain cadangan mereka, meski Silva menyayangkan kurangnya aktivitas transfer di musim panas ini.
Lantas, apakah MU akan bangkit dari keterpurukan di awal musim ini, atau akan terus dihantui oleh kesalahan-kesalahan kecil yang merugikan hasil akhir pertandingan?