Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Menjadi Suara Kebenaran

Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara karya Seno Gumira Ajidarma.
(Sumber gambar: goodreads.com)

Pada masa Orde Baru, kebebasan pers di Indonesia berada dalam cengkeraman kontrol ketat pemerintah. Melalui Departemen Penerangan, setiap berita yang dianggap mengancam "keamanan negara" disensor atau dilarang tayang. Situasi ini menciptakan dilema besar bagi jurnalis yang ingin menyampaikan fakta apa adanya kepada masyarakat. Seno Gumira Ajidarma (SGA), seorang jurnalis yang bekerja di tabloid Jakarta Jakarta, mengalami sendiri pahitnya pembungkaman ini. Setelah meliput Pembantaian Santa Cruz pada 12 November 1991 di Timor Timur, ia dipindahkan ke media lain, dan tabloid tempatnya bekerja akhirnya dibredel oleh pemerintah. Dari pengalaman tersebut, lahirlah buku Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara, sebuah karya yang tidak hanya menjadi kritik terhadap pembatasan kebebasan pers, melainkan juga menegaskan peran sastra sebagai medium penyampai kebenaran.

Konteks Jurnalisme di Masa Orde Baru

Pada era Orde Baru, jurnalisme tidak lagi menjadi sarana untuk menyuarakan realitas secara bebas. Pemerintah mengikat profesi ini dengan berbagai kendala, mulai dari kepentingan politik hingga bisnis. Departemen Penerangan bertugas memeriksa dan menyensor setiap informasi yang akan diterbitkan oleh media. Akibatnya, berita yang sampai ke masyarakat sering kali telah dipotong atau diubah sehingga kehilangan esensi kebenarannya. Bagi SGA, kejadian ini menjadi titik balik. Liputannya tentang Pembantaian Santa Cruz, dianggap melanggar aturan pemerintah. Hukuman yang diterimanya—perpindahan tugas dan pembredelan tabloid—membuktikan bahwa jurnalisme pada masa itu tidak memiliki ruang untuk kejujuran.

Pergeseran ke Sastra sebagai Jalan Alternatif

Dihadapkan pada kenyataan bahwa jurnalisme tidak lagi mampu menjadi wadah untuk menyampaikan kebenaran, SGA beralih ke sastra. Dalam bukunya, ia menulis, "Jurnalisme terikat oleh seribu satu kendala, dari bisnis sampai politik, untuk menghadirkan dirinya, namun kendala sastra hanyalah kejujurannya sendiri." Sastra, bagi SGA, adalah medium yang lebih bebas, meskipun tidak sepenuhnya kebal dari pembredelan. Ia percaya bahwa kebenaran yang disampaikan melalui sastra akan menyatu dengan udara, "tak tergugat dan tak tertahankan." Melalui fiksi, SGA menemukan cara untuk mengungkapkan realitas yang disembunyikan oleh pemerintah, seperti tragedi di Timor Timur. Buku kumpulan cerita Saksi Mata dan novel Jazz, Parfum, dan Insiden menjadi bukti nyata bagaimana ia menggunakan sastra untuk merekam dan menyuarakan kebenaran yang tidak dapat diungkapkan melalui berita.

Karya Sastra SGA: Cermin Tragedi yang Tersembunyi

Karya-karya SGA dalam Saksi Mata dan Jazz, Parfum, dan Insiden bukan sekadar fiksi biasa. Di balik narasi dan imajinasi yang ia bangun, terselip fakta-fakta kelam tentang Pembantaian Santa Cruz dan penderitaan rakyat Timor Timur. Dengan pendekatan sastra, SGA mampu menyampaikan emosi, keresahan, dan kebenaran yang tidak bisa ia tulis sebagai jurnalis. Sastra memberinya keleluasaan untuk berbicara tanpa batasan sensor, sekaligus mengajak pembaca untuk merenungkan realitas yang disembunyikan oleh media arus utama. Bagi masyarakat yang hanya mengandalkan informasi dari sumber resmi yang telah disensor, karya-karya ini menjadi jendela untuk melihat sejarah yang sengaja ditutupi.

Relevansi di Masa Kini

Lebih dari sekadar kritik terhadap Orde Baru, buku ini juga mengingatkan kita tentang ketidaktahuan masyarakat Indonesia terhadap sejarahnya sendiri. Kontrol informasi yang ketat pada masa itu menyebabkan banyak orang tidak mengetahui peristiwa seperti Pembantaian Santa Cruz. Bahkan hingga kini, masih ada yang menyepelekan atau menyangkal tragedi kemanusiaan yang terjadi, baik pada masa Orde Baru maupun pasca-reformasi. Hal ini menunjukkan bahwa peran sastra, sebagaimana ditunjukkan oleh SGA, tetap relevan. Sastra tidak hanya menjadi alat dokumentasi, tetapi juga sarana untuk membangkitkan kesadaran kolektif tentang pentingnya kebebasan berekspresi dan akses terhadap kebenaran.

***

Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara adalah manifesto Seno Gumira Ajidarma tentang kekuatan sastra di tengah pembungkaman jurnalisme. Dalam konteks Orde Baru, ketika kebenaran menjadi barang langka di media, sastra muncul sebagai suara alternatif yang tak bisa dibungkam sepenuhnya. Karya ini mengajak kita untuk menghargai kebebasan pers sekaligus menyadari bahwa sastra memiliki peran besar dalam menjaga agar kebenaran tetap hidup. Di tengah tantangan zaman, pesan SGA tetap relevan: ketika kata-kata diikat oleh kekuasaan, sastra akan selalu menemukan cara untuk berbicara.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.