Merenungi Kembali dalam Mendukung Manchester United

Para pendukung Manchester United sedang menyaksikan pertandingan secara langsung sambil mengibarkan bendera klub kebanggaannya.
(Sumber: eurosport.com)

Sejak adanya media sosial seperti Twitter (meskipun sudah berganti menjadi X, saya tetap menyebutnya Twitter), informasi tentang berbagai topik sangat cepat untuk diketahui. Salah satunya adalah tentang sepak bola. Karena sepak bola adalah olahraga populer di Indonesia, maka ketika klub bola kesayangan masing-masing warganet bertanding, akan ramai cuitan-cuitan yang mereka lakukan di media sosial milik Elon Musk ini.

Dari keramaian warganet tersebut, tak dimungkiri pasti ada saja pendukung bola yang toksik dan tanpa ragu berkata kasar demi membela klub sepak bola yang disukainya. Karena keriuhan yang tidak bisa dikendalikan itu, saya pun jadi jarang membuka Twitter ketika klub sepak bola yang saya dukung sedang bertanding. 

Saya adalah pendukung Manchester United sejak 2003 (selebihnya bisa dibaca di sini). Namun, saya tidak akan membantah bahwa pendukung MU memang ada sebagian yang menyebalkan (bahkan toksik) ketika mereka muncul di media sosial, salah satunya di Twitter. Akibat sering muncul pendukung bola yang negatif seperti itu, saya jadi merenungi kembali tentang alasan saya mendukung MU. Bagi saya, MU adalah klub bola yang berkesan dan membentuk masa kecil saya ketika masih sering bermain bola bersama teman-teman di daerah rumah. Meskipun secara performa, sejak Sir Alex Ferguson pensiun pada 2013, MU jadi jarang bersaing di peringkat empat besar dan "hanya" memenangi beberapa trofi sejak musim 2013/14.

Lalu, di tulisan saya kali ini, saya ingin menyelami kembali sejarah sepak bola (ya, warganet sering menyebutnya sebagai History FC) sebagai bukti cinta, tradisi, dan warisan abadi bagi pendukung MU.

Kelahiran dan awal didirikan

Foto lawas yang menunjukkan para pemain dari Newton Heath LYR.
(Sumber: bleacherreport.com)

Sebelum dikenal dengan nama Manchester United dan memiliki ciri khas berseragam merah, klub bola ini bernama Newton Heath LYR Football Club (dengan ciri khas seragam kuning dan hijau) yang didirikan pada 1878. Jika saat ini MU terkenal dengan kondisi keuangannya yang fantastis, berbeda dengan tahun-tahun awal klub ini didirikan karena kesulitan keuangan dan ketidakpastian. Namun, ternyata kesulitan ini jadi membentuk mental dan semangat yang lebih kuat. Lalu, baru pada 1902, nama sebelumnya diganti menjadi Manchester United sebagai lambang kelahiran kembali atau awal yang baru.

Era Sir Matt Busby

Sir Matt Busby merayakan kemenangan bersama para pemain Manchester United.
(Sumber: bbc.com)

Ketika masa-masa MU belum meraih banyak trofi dan menjadi terkenal seperti sekarang, penunjukan Sir Matt Busby sebagai manajer pada 1945 merupakan salah satu periode penting dalam sejarah MU. Ia memiliki rencana jangka panjang supaya membangun klub sepak bola tidak hanya untuk meraih kesuksesan, melainkan juga bagaimana menjaga performa konsisten untuk diwariskan sampai ke generasi selanjutnya. Lalu, di era ini pun dikenal dengan julukan Busby Babes yang merupakan penyebutan bagi sekelompok pemain muda MU berbakat yang membuat pendukung MU saat itu takjub dengan aksi mereka di lapangan. Meskipun demikian, hal tak terduga pun terjadi, yaitu Tragedi Udara Munich yang terjadi pada 6 Februari 1958. Momen ini menjadi cobaan MU untuk tetap kuat dan melewati masa kelam tersebut.

Awal kejayaan di Eropa

Sir Matt Busby dan skuad Manchester United berfoto dengan trofi Piala Eropa (saat ini bernama Liga Champions) pada 1968.
(Sumber: bbc.com)

MU berhasil mendapatkan trofi Eropa (saat ini disebut Liga Champions) pertamanya pada 1968, menandai bahwa periode 1960-an merupakan tahun-tahun berkesan bagi klub berjuluk Setan Merah ini. Selain itu, prestasi tersebut bukan hanya kemenangan tentang sepak bola, melainkan juga sebagai bukti kerja keras dari pemain dan staf MU untuk mewujudkan mimpi Sir Matt Busby. Lebih lanjut, trio penyerang MU bernama George Best, Denis Law, dan Sir Bobby Charlton menjadi legenda setelah menunjukkan performa terbaiknya di periode ini. 

Era Sir Alex Ferguson

Sir Alex Ferguson dengan beberapa trofi yang ia raih selama menjadi manajer di Manchester United.
(Sumber: mirror.co.uk)

Perjuangan Sir Alex Ferguson (SAF) untuk membangun kembali kejayaan MU bukanlah hal yang instan untuk dilakukan. Ia ditunjuk sebagai manajer pada November 1986 untuk menggantikan Ron Atkinson. Namun, empat tahun kemudian ia baru bisa mempersembahkan trofi perdananya untuk MU. Selain itu, di era ini terkenal juga dengan Treble Winners yang diraih pada musim 1998/99 setelah menumbangkan Bayern Munich di menit-menit akhir Final Liga Champions.  Lantas, dari periode awal 1990-an itu sampai SAF pensiun pada Mei 2013 merupakan periode panjang MU dalam meraih kesuksesan. Terbukti, SAF telah mempersembakan 13 trofi Liga Inggris, dua trofi Liga Champions, dan trofi-trofi bergengsi lainnya.

Basis pendukung secara global dan budaya populer

Pendukung asal China sedang mengekspresikan dukungannya dengan mengibarkan bendera Manchester United di stadion.
(Sumber: theguardian.com)

Dari kesuksesan yang telah dibangun oleh SAF selama 26 tahun menjadi manajer MU, membuat klub ini memiliki basis pendukung yang tidak hanya di Inggris, tetapi sudah mencapai level global. Menurut Reuters, sejauh ini pendukung MU di dunia mencapai lebih dari 650 juta orang. Tak heran, ketika MU bertanding akan banyak kritikan atau pujian yang akan dihasilkan oleh warganet di media sosial. Namun, patut diperhatikan juga bahwa dari banyaknya pendukung tersebut, akan banyak juga variasi dalam mengekspresikan dukungannya. Untuk saya pribadi, yang saya lakukan di Twitter adalah dengan mengikuti akun resmi MU (yang berbahasa Inggris, bukan akun resmi yang berbahasa Indonesia karena saya kurang cocok dengan gaya cuitannya). Sebab, seperti yang saya jelaskan sebelumnya, hal yang bisa saya kendalikan untuk membuat suasana linimasa akun Twitter saya lebih damai adalah dengan menghindari akun-akun pendukung bola yang toksik dalam menunjukkan dukungannya, baik itu dari pendukung MU atau klub bola lainnya.

Poster film The Class of '92 yang dirilis pada 2013 silam.
(Sumber: imdb.com)

Di samping itu, dalam efek budaya populer yang telah dihasilkan oleh MU adalah dengan terbitnya karya-karya yang bisa dinikmati seperti film dokumenter, buku, dan berbagai film untuk merayakan kekayaan sejarah dari klub ini. Dua film tentang MU yang pernah saya tonton adalah The Class of '92 (2013) dan Sir Alex Ferguson: Never Give In (2021).

***

Pada akhirnya, bagi saya, mendukung MU bukan sekadar pilihan, melainkan ada kisah di baliknya. Kisah tersebut adalah tentang sejarah, tradisi, dan era ketika klub ini dinahkodai oleh Sir Matt Busby serta Sir Alex Ferguson. Memang, sejak musim 2013/14 sampai saat ini, MU belum bisa meraih trofi Liga Inggris lagi, tetapi saya selalu berusaha untuk menikmati pertandingannya; walaupun sesekali pasti ada saja pemainnya yang membuat gregetan. Di sisi lain, perjalanan MU sebagai klub yang tidak diperhitungkan sebelumnya sampai meraih kesuksesan dan basis pendukung secara global sampai sekarang merupakan bukti dari loyalitas dan semangat yang luar biasa.

Sumber gambar: sportingnews.com

Walaupun saat ini saya masih menjadi pendukung MU lewat layar kaca atau gawai, saya pun berharap suatu hari nanti bisa menonton langsung di stadion kebesarannya, Old Trafford.



_______________
Sumber artikel:

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.