Memahami Politik: Dari Apatis Menuju Kesadaran Kolektif

Ilustrasi unjuk rasa sebagai bentuk ekspresi kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah.
(Sumber gambar: freepik.com)

Politik di Indonesia pada 2025 ini, khususnya menjelang akhir Agustus hingga awal September, sedang berada pada kondisi yang dinamis dan penuh gejolak. Gelombang demonstrasi besar-besaran yang melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari mahasiswa, buruh, hingga warga sipil, menjadi cerminan ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah dan wakil rakyat. Demonstrasi ini dipicu oleh isu-isu seperti kenaikan tunjangan dan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), di tengah rakyat yang mengalami kesulitan ekonomi, seperti pengangguran tinggi, kenaikan pajak, dan kemiskinan struktural [1]. Sebagai seseorang yang pernah apatis terhadap politik, perjalanan hidup saya dari masa remaja hingga dewasa telah membuka mata saya tentang pentingnya politik dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman ini tidak hanya membentuk pandangan saya, melainkan juga mencerminkan pergeseran kesadaran masyarakat Indonesia secara lebih luas.

Perjalanan saya dalam memahami politik dimulai pada 2011, ketika saya berusia 17 tahun dan secara hukum sudah berhak ikut serta dalam pemilihan umum (Pemilu). Namun, pada saat itu, lingkungan sekitar saya tidak memberikan pemahaman yang cukup tentang peran politik dalam kehidupan. Saya melihat politik sebagai sesuatu yang jauh dan tidak relevan dengan keseharian saya. Kondisi ini berlanjut hingga tahun 2014, saat pemilu presiden dan wakil presiden serta anggota DPR diadakan. Saat itu, saya masih berstatus sebagai mahasiswa dan mulai sedikit memahami politik, tetapi sikap apatis tetap mendominasi. Saya bahkan tidak datang ke tempat pemungutan suara untuk memilih capres dan cawapres karena alasan sepele: saya ngekos di kota lain dan kesiangan pulang ke rumah orang tua. Saya hanya mencoblos anggota DPR pada pemilu legislatif beberapa bulan sebelumnya, tanpa rasa urgensi yang mendalam.

Lima tahun kemudian, pada April 2019, pemilu kembali diadakan. Saat itu, saya sudah bekerja di sebuah perusahaan agregator berita, di mana salah satu tugas saya adalah mengawasi berita politik yang akan muncul di aplikasi. Berita politik menjadi "makanan" sehari-hari, dan hal ini justru membuat saya jengah. Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden terlihat tidak pantas untuk dipilih, menurut penilaian saya saat itu. Akibatnya, saya memilih untuk golput dengan sengaja mencoblos kedua kandidat, sehingga surat suara saya menjadi tidak sah. Pengalaman ini mencerminkan sikap sebagian anak muda pada masa itu: kebosanan dan ketidakpercayaan terhadap elite politik yang sering kali terlibat korupsi dan nepotisme.

Namun, hidup memang dinamis, dan pemahaman saya terhadap politik Indonesia semakin matang seiring waktu. Pada Pemilu 2024, saya mulai peduli dengan hak suara saya. Dari tiga pasangan kandidat yang lolos, saya memilih satu berdasarkan analisis kekurangan dan kelebihan masing-masing. Saya menyadari bahwa segala aspek kehidupan (seperti ekonomi, pendidikan, hingga kesehatan) selalu melibatkan keputusan politik. Sikap apatis seperti sebelumnya hanya akan memperburuk kondisi bangsa. Kesadaran ini semakin kuat pada 2025, ketika demonstrasi besar meletus di akhir Agustus hingga awal September. Demonstrasi ini, yang dimulai sekitar 25 Agustus, awalnya dipicu oleh rencana kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR sebesar Rp50 juta perbulan, yang membuat pendapatan mereka melebihi Rp100 juta perbulan [2]. Hal ini dianggap tidak adil, mengingat upah minimum regional (UMR) di Jakarta hanya sekitar seperduapuluh dari angka tersebut, sementara rakyat menghadapi kesulitan ekonomi seperti minimnya lapangan kerja dan kenaikan biaya hidup [3].

Demonstrasi ini melibatkan berbagai komponen masyarakat, termasuk mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI), Partai Buruh, dan organisasi kepemudaan. Tuntutan utama yang digaungkan adalah "17+8 Tuntutan Rakyat", yang mencakup pembatalan kenaikan gaji dan tunjangan DPR, transparansi anggaran negara, percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset untuk memerangi korupsi, serta penghentian kekerasan aparat terhadap demonstran [4]. Aksi ini tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi menyebar ke berbagai daerah, bahkan muncul solidaritas dari diaspora Indonesia di luar negeri seperti Australia, Jerman, Malaysia, dan Amerika Serikat [5]. Sayangnya, demonstrasi sering berujung ricuh, dengan insiden seperti pembakaran fasilitas umum dan penggunaan gas air mata oleh aparat [6]. Ada korban jiwa, seperti Affan Kurniawan yang tewas dalam kerusuhan, serta puluhan orang ditahan, termasuk anak di bawah umur [7]. Sorotan internasional pun datang, dengan PBB mendesak investigasi pelanggaran HAM dan parlemen ASEAN mengecam tindakan keras aparat [8].

Kondisi ini menunjukkan ketidakadilan pada sistem politik Indonesia. Di satu sisi, elite politik seperti anggota DPR menikmati fasilitas mewah dan gaji mencapai ratusan juta rupiah, sementara rakyat kesulitan mencari pekerjaan dan menghadapi efek inflasi [9]. Demonstrasi ini juga berdampak pada ekonomi nasional, dengan pelemahan nilai tukar rupiah dan ketidakstabilan pasar keuangan [10]. Respons pemerintah, seperti pembatalan tunjangan setelah Oktober 2025 oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan pembentukan tim investigasi oleh Presiden Prabowo Subianto, menunjukkan bahwa tekanan publik mulai membuahkan hasil [11]. Namun, aksi lanjutan masih direncanakan, meski beberapa dibatalkan karena kondisi tidak kondusif [12].

Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, saya turut peduli dengan nasib bangsa ini. Melalui media sosial seperti Instagram, saya menyuarakan keprihatinan saya, untuk menuntut pertanggungjawaban dan membangunkan mereka yang masih apatis. Pengalaman saya membuktikan bahwa politik bukanlah urusan elite semata, melainkan hak dan tanggung jawab setiap warga. Jika dulu saya menganggap politik tidak penting, kini saya melihatnya sebagai alat untuk perubahan.

Pada akhirnya, kondisi politik Indonesia saat ini adalah panggilan untuk kesadaran kolektif. Selain sebagai sikap protes, demonstrasi ini merupakan momentum untuk mereformasi sistem yang lebih adil. Saya berharap, melalui pengalaman pribadi dan gejolak nasional ini, semakin banyak orang yang membuka mata dan pikiran, karena kehidupan kita tidak pernah lepas dari keputusan politik. Mari kita tetap waspada, partisipatif, dan kritis, demi Indonesia yang lebih baik.



_________________
Sumber:












Tags

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.