Sejarah Pecel dan Peran Katjang Tjina dalam Kuliner Nusantara


Buku Katjang Tjina dalam Kuliner Nusantara: Sejarah Pecel, Pecak, Rujak, Gado-Gado, dan Sambal Kacangnya karya Ary Budiyanto membawa kita menyelami jejak sejarah kuliner Indonesia, dengan fokus pada pecel dan variasinya, serta peran penting kacang tanah (disebut "katjang tjina") dalam menyatukan tradisi kuliner Nusantara. Melalui penelusuran naskah kuno Jawa, resep kolonial, dan catatan sejarah, Budiyanto mengungkap asal-usul, evolusi, dan makna budaya dari hidangan-hidangan ini, menjadikan buku ini kontribusi berharga untuk memahami warisan kuliner Indonesia.

Asal-Usul dan Evolusi Pecel

Pecel, yang kini dikenal sebagai hidangan sayuran dengan saus kacang, ternyata memiliki akar sejarah yang jauh berbeda. Pada naskah-naskah Jawa dan Sunda kuno, seperti Sanghyang Swawar Cinta, pecel merujuk pada teknik memasak, bukan hidangan spesifik. Istilah "pecel" atau "amecel" mengacu pada proses pembuatan sambal atau saus berbumbu yang disiramkan ke lauk, seperti daging atau ikan. Menariknya, dalam referensi awal ini, tidak ada sayuran atau kacang tanah yang disebutkan, menunjukkan bahwa pecel modern adalah hasil evolusi panjang.

Perubahan besar terjadi pada abad ke-17, ketika kacang tanah diperkenalkan ke Indonesia oleh pedagang Portugis dan Cina. Menurut Babad Tanah Jawi, kacang tanah (disebut "katjang tjina" karena kaitannya dengan pedagang Cina) mulai dibudidayakan di Jawa. Pada abad ke-19, sebagaimana tercatat dalam Serat Centhini, pecel berkembang menjadi hidangan yang mencakup lauk dan sayuran, dengan saus kacang sebagai elemen utama. Transformasi ini mencerminkan pengaruh perdagangan global dan adaptasi lokal terhadap bahan baru.

Katjang Tjina: Benang Merah Kuliner Nusantara

Selain menjadi bahan masakan, kacang tanah juga dianggap sebagai "benang merah" yang menghubungkan berbagai hidangan Nusantara, termasuk pecel, pecak, rujak, dan gado-gado. Budiyanto menelusuri masuknya kacang tanah ke Asia sejak abad ke-16, dibawa dari Amerika Selatan oleh pedagang Spanyol, lalu menyebar ke Cina dan akhirnya ke Indonesia. Catatan botanis Rumphius di Ambon memperkuat dugaan bahwa kacang tanah tiba melalui perdagangan Cina dan mulai dibudidayakan di Makassar dan Batavia.

Peran kacang tanah semakin menonjol pada masa kolonial. Catalogus pameran perdagangan Amsterdam tahun 1883 mencatat "katjang tjina" sebagai komoditas ekspor utama, diekstraksi menjadi minyak. Dalam kuliner, kacang tanah memberikan kekayaan rasa pada saus dan sambal, sekaligus menjadi simbol pertukaran budaya yang memperkaya tradisi Nusantara.

Pecel, Pecak, dan Gado-Gado: Perbedaan dan Persamaan

Buku ini juga membedah hubungan antara pecel dan hidangan serupa. Pecak, khususnya dalam kuliner Betawi, mempertahankan makna awal pecel sebagai teknik memasak lauk dengan sambal bersantan, kadang diperkaya kacang tanah dan kemiri. Sebaliknya, gado-gado menonjol sebagai hidangan berbasis sayuran. Namun, resep awal gado-gado dalam Kokki Bitja (1845) menggunakan kemiri, bukan kacang tanah. Baru pada awal abad ke-20, sebagaimana dicatat dalam Kamus Soendaneesch-Hollandsch (1913), kacang tanah menjadi bumbu utama gado-gado, menunjukkan adaptasi bertahap terhadap bahan ini.

Rujak, meski berbeda dengan tambahan buah dan rasa manis-asamnya, juga terhubung melalui penggunaan kacang tanah dalam variasi tertentu. Fleksibilitas pecel untuk "berselingkuh" dengan kuliner lain (seperti pecel ayam dan pecel lele) mencerminkan kreativitas dan evolusi kuliner Nusantara yang dinamis.

Makna Budaya dan Warisan Kuliner

Lebih dari sekadar makanan, pecel dan kacang tanah mencerminkan sejarah sosial Indonesia. Budiyanto menunjukkan bagaimana perdagangan, kolonialisme, dan migrasi membentuk kuliner Nusantara. Dengan menerjemahkan naskah kuno dan resep kolonial, ia menghidupkan kembali narasi yang nyaris hilang, sehingga buku ini menjadi jembatan antara masa lalu dan kini.

***

Katjang Tjina dalam Kuliner Nusantara mengajak kita menghargai kekayaan kuliner Indonesia sebagai cerminan sejarah dan budaya. Dari teknik memasak sederhana di masa lampau sampai hidangan modern berbasis kacang tanah, pecel dan variasinya menceritakan kisah adaptasi dan inovasi. Karya Ary Budiyanto ini mampu mengisi kekosongan narasi kuliner dan mengingatkan kita tentang pentingnya melestarikan warisan gastronomi Nusantara yang kaya dan beragam.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.