A God in Every Stone karya Kamila Shamsie menggambarkan konflik antara India dan Inggris pada awal abad ke-20 melalui kisah karakter-karakternya yang terlibat pada peristiwa sejarah penting. Berlatar belakang Perang Dunia I dan gerakan kemerdekaan India, novel ini mengeksplorasi dampak konflik kolonial pada individu-individu yang terjebak di antara dua dunia, yaitu kekuasaan imperial Inggris dan perjuangan rakyat India untuk kebebasan.
Latar Sejarah dan Karakter Utama
Salah satu karakter utama, Qayyum Gul, adalah seorang tentara Pathan yang awalnya bertugas di tentara India Britania. Pada 1915, ia kehilangan salah satu matanya dalam Pertempuran Ypres Kedua, peristiwa yang meruntuhkan kesetiaannya kepada Inggris. Setelah kembali ke Peshawar, Qayyum menyaksikan perubahan di tanah kelahirannya dan mulai mempertanyakan peran Inggris sebagai penguasa kolonial. Pengalaman perang ini menjadi titik balik terhadap konflik batin bagi banyak prajurit India yang terpaksa berperang demi imperium yang menindas mereka sendiri.
Di sisi lain, Vivian Rose Spencer, seorang arkeolog muda dari London, melakukan perjalanan ke Peshawar untuk mengejar minatnya pada artefak kuno. Selama di sana, ia bertemu Najeeb, adik Qayyum, yang menjadi muridnya. Melalui interaksi dengan Najeeb dan penduduk lokal, Vivian mulai memahami ketidakadilan yang dialami rakyat India di bawah pemerintahan Inggris. Perjalanan Vivian mencerminkan perspektif seorang outsider yang secara bertahap menyadari realitas kolonialisme.
Peristiwa Sejarah sebagai Cermin Konflik
Novel ini menggunakan peristiwa sejarah asli untuk menggambarkan ketegangan antara India dan Inggris. Pertempuran Ypres Kedua menunjukkan pengorbanan besar yang ditanggung tentara India demi kepentingan Inggris, sementara pembantaian di Qissa Khwani Bazaar pada 1930 mengungkap brutalitas pemerintahan kolonial. Dalam pembantaian tersebut, tentara Inggris menembaki para demonstran non-kekerasan, yang akhirnya memicu semangat perlawanan di kalangan penduduk Peshawar. Shamsie menggunakan momen-momen ini untuk menyoroti kontradiksi antara retorika "peradaban" Inggris dan tindakan kekerasan mereka.
Hubungan Qayyum dan Vivian
Hubungan antara Qayyum dan Vivian menjadi simbol dari pertemuan dua dunia yang bertolak belakang. Mereka pertama kali bertemu di kereta menuju Peshawar pada 1915, tetapi ikatan mereka baru terungkap lima belas tahun kemudian, saat pertempuran brutal untuk kemerdekaan di Jalan Para Pendongeng (Street of Storytellers). Pada adegan ini, artefak kuno dan kehadiran seorang perempuan bermata hijau misterius menyatukan mereka kembali, menunjukkan bagaimana nasib seseorang terjalin dengan sejarah yang lebih besar. Hubungan ini menggarisbawahi tema novel bahwa konflik kolonial tidak hanya bersifat politik, melainkan juga pribadi.
Pesan dan Refleksi
Melalui Qayyum dan Vivian, Shamsie menggambarkan bahwa konflik antara India dan Inggris merupakan pertempuran hati dan pikiran, bukan hanya kekuatan fisik. Novel ini menunjukkan bagaimana imperium tumbuh, runtuh, dan meninggalkan bekas pada kehidupan individu. Sebagai sebuah karya sastra, A God in Every Stone mengajak pembaca untuk merenungkan sifat kekuasaan dan kebebasan, serta mengingatkan kita bahwa di balik peristiwa sejarah yang besar, terdapat cerita-cerita pribadi yang tak terlupakan.
***
Sebagai kesimpulan, A God in Every Stone adalah novel yang menampilkan tema persahabatan, ketidakadilan, cinta, dan pengkhianatan, dengan latar belakang konflik antara India dan Inggris. Melalui karakter-karakternya, Shamsie menghidupkan sejarah dan menunjukkan bagaimana individu menemukan tempat mereka dalam kekacauan zaman.