Berimajinasi Membunuh Sepi

Ilustrasi dua anak kecil yang bermain sambil berimajinasi.
(Sumber gambar: freepik.com)

Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah hijau, Andi, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, menatap sepasang sepatu tua yang tergeletak di sudut teras rumahnya. Sepatu itu milik ayahnya, penuh lumpur kering dan robek di ujungnya, seolah-olah menyimpan kisah panjang yang tak pernah diceritakan. Andi menghela napas, lalu mengalihkan pandangan ke arah halaman tempat seekor burung kecil melompat-lompat di atas rumput. Tiba-tiba, burung itu menoleh ke arahnya, dan Andi merasa seolah-olah burung itu berkata, “Ayo, ikut aku!” Dalam sekejap, matanya berbinar—dunia di kepalanya mulai berputar, dan petualangan yang tak terbayangkan sebelumnya pun dimulai.

Andi sering merasa sepi. Ayah dan ibunya berangkat ke sawah sebelum matahari terbit dan pulang saat senja sudah merona. Rumah terasa sunyi, hanya ditemani suara angin yang bermain dengan daun pisang di luar. Di tengah kesepian itu, Andi menemukan cara untuk melarikan diri. Ia duduk bersila di lantai kayu, menutup mata, dan membayangkan dirinya sebagai seorang kesatria pemberani. Dengan pedang kayu yang ia buat dari ranting pohon, ia berlari melintasi halaman, melompat ke atas batu besar, dan berteriak keras seolah-olah sedang bertarung melawan naga raksasa. Keringat menetes dari dahinya, tapi senyumnya lebar—di dunia itu, ia tak pernah sendiri.

***

Suatu hari, saat Andi sedang mengayunkan pedang kayunya ke udara, sebuah suara kecil terdengar dari balik semak. Ia berhenti, memicingkan mata, dan melihat sepasang mata cokelat mengintip dari sana. Seorang gadis seusianya melangkah keluar, rambutnya dikuncir dua dan tangannya memegang boneka kain yang sudah lusuh. “Kamu sedang bertarung dengan apa?” tanyanya, kepalanya miring penuh rasa ingin tahu. Andi tersenyum malu-malu, lalu mengangguk. “Naga. Besar sekali, tapi aku pasti menang.” Gadis itu tertawa, lalu memperkenalkan diri sebagai Lala. Sejak saat itu, dunia imajinasi Andi tak lagi sepi—ada Lala yang ikut berlari bersamanya, berpura-pura menjadi penyihir yang melempar mantra dengan tongkat dari ranting kering.

Petualangan mereka semakin liar. Di bawah pohon mangga yang rindang, mereka duduk berhadapan, berbisik tentang rencana untuk menjelajahi “kerajaan terlarang” di balik bukit desa. Andi menggenggam selembar koran bekas yang ia anggap sebagai peta ajaib, sementara Lala menutup satu mata dan berpura-pura memandang ke kejauhan dengan “teropong” dari gulungan daun. Mereka berlari bersama, melompati parit kecil, dan bersembunyi di balik semak saat “musuh” yang tak terlihat mendekat. Tawa mereka menggema, membawa angin sepoi-sepoi yang seolah ikut bermain bersama.

Namun, di balik kegembiraan itu, ada hari-hari ketika Andi kembali duduk sendirian di teras. Sepatu tua ayahnya masih di sudut, dan burung kecil di halaman tak lagi datang. Ia memeluk lutut, menatap lantai, dan merasa hati kecilnya bergetar. Lala memperhatikan dari kejauhan, lalu mendekat dengan langkah pelan. “Kenapa kamu sedih?” tanyanya sambil duduk di sampingnya. Andi mengangkat bahu, tapi matanya berkaca-kaca. “Aku ingin ayah dan ibu ada di sini, bermain bersamaku.” Lala diam sejenak, lalu menggenggam tangan Andi. “Aku juga sering menunggu orang tuaku. Tapi sekarang, aku punya kamu. Kita bisa membuat kerajaan kita sendiri, kan?”

Sore itu, mereka duduk bersama di bawah pohon mangga, tak lagi berlari atau bertarung. Lala mengeluarkan boneka kainnya dan meletakkannya di antara mereka, sementara Andi memetik sehelai rumput dan memainkannya di tangan. Angin berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dari sawah. Andi menoleh ke arah Lala, lalu tersenyum kecil. “Kalau kita punya kerajaan, aku ingin jadi raja yang baik. Dan kamu jadi penyihir yang melindungi semua orang.” Lala mengangguk penuh semangat. “Dan kita akan punya banyak teman, biar gak pernah sepi lagi.”

Sejak hari itu, Andi dan Lala tak hanya berbagi imajinasi, tapi juga kekuatan untuk menghadapi hari-hari sunyi. Mereka duduk bersama di teras, menggambar “peta” di tanah dengan ranting, atau sekadar berbaring di rumput sambil menatap langit malam yang penuh titik-titik putih berkelap-kelip. Andi merasa dadanya hangat—seolah-olah cahaya kecil dari dalam hatinya bersinar terang, menyingkirkan gelap yang pernah ia rasakan. Bersama Lala, ia belajar bahwa meski dunia nyata tak selalu sempurna, mereka bisa menciptakan keajaiban sendiri, hanya dengan tawa, harapan, dan persahabatan yang tak pernah pudar.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.