Sisi Lain dari Sosok Superhero Berdasarkan Serial 'The Boys'

Sumber gambar: pinterest.co.uk

Sosok superhero yang gagah dan berani dalam menumpas kejahatan sesuai yang kita bayangkan selama ini, didekonstruksi secara maksimal dalam serial TV berjudul The Boys. Serial tersebut diciptakan oleh Eric Kripke dan ditayangkan di Amazon Prime berdasarkan komik karya Garth Ennis dan Darick Robertson. Dengan mengambil pendekatan yang unik dan satir terhadap genre superhero, serial The Boys mengungkapkan kisah dengan menjelajahi sisi-sisi negatif manusia, seperti keserakahan korporat dan konsekuensi dari kekuatan super yang tidak terkendali.

Mendekonstruksi sosok superhero

Jika sebagian besar dari kita membayangkan sosok superhero adalah mereka yang rela mempertaruhkan nyawanya untuk membela kebenaran, maka The Boys adalah tayangan yang mengekspos sisi superhero sebagai individu yang egois dan sering tidak mempedulikan moral. Di semesta ini, superhero bukan sosok penyelamat, melainkan sebagai alat yang dikendalikan oleh para petinggi perusahaan bernama Vought International. Jadi, para superhero digambarkan sebagai produk korporat, didorong dengan peran mereka yang berhasil menarik simpati masyarakat; sehingga masyarakat akan mengonsumsi segala hal yang berkaitan dengan karakter superhero favorit mereka, seperti merchandise, action figure, taman bermain, dan lain-lain.

Dari kiri ke kanan: Starlight, The Deep, Translucent, Queen Maeve, Black Noir, A-Train, dan Homelander.
(Sumber: pinterest.co.uk)

The Seven merupakan julukan dari tujuh superhero yang dibentuk Vought International. Mereka berperan sebagai pahwalan super (jika dilihat dari sudut pandang masyarakat biasa) sekaligus sebagai produk untuk meraup keuntungan finansial bagi korporasi yang menaungi mereka. Pemimpin The Seven bernama Homelander yang karismatik tetapi angkuh dan bobrok secara moral. Sebab, kekuatannya yang digambarkan seperti Superman (superhero dari DC Comics), malah digunakan untuk nafsu pribadi jika tidak ada masyarakat yang melihatnya. Begitu juga dengan anggota lainnya yang sebenarnya tidak peduli dengan moral dan etika sebagai superhero. Dengan begitu, serial ini membuat penontonnya mempertanyakan moralitas tentang sosok manusia yang memiliki kekuatan super tetapi malah dieksploitasi untuk keuntungan pribadi.

Para karakternya yang "abu-abu"

Salah satu yang membuat saya menyukai The Boys adalah mereka menampilkan karakter-karakter yang "abu-abu". Maksudnya, jika film atau serial superhero tradisional sangat mudah ditebak antara tokoh jahat dengan yang baik, maka di semesta ini para karakternya memiliki prinsip moral yang tidak jelas. Bahkan, Billy Butcher sebagai tokoh utama sekaligus pemimpin The Boys, memiliki dendam mendalam terhadap Homelander yang telah membuat Billy berpisah dengan istrinya. Billy pun segera mengumpulkan anggota-anggota lain supaya bisa membasmi Homelander dkk. dengan cara apa pun.

Anggota The Boys (dari kiri ke kanan): The Female, Hughie Campbell, Billy Butcher, Mother's Milk, Frenchie.
(Sumber: pinterest.co.uk)

Dari penggambaran tersebut, penonton diajak berpikir untuk mempertanyakan prasangka mereka sendiri tentang sikap pahlawan dan moralitas. Sosok seperti Hughie Campbell yang bergabung menjadi anggota The Boys juga karena didorong rasa balas dendam kepada A-Train (salah satu anggota The Seven) yang tak sengaja menabrak pacarnya sampai tubuhnya hancur. Dari niat dan aksi para anggota The Boys, membuat garis-garis antara yang benar dan salah seringkali menjadi tidak mudah diprediksi. Sebab, niat baik mereka untuk mengekspos kebusukan para superhero, dianggap sebagai sikap melawan hukum dan merusak "kedamaian" yang sudah dibentuk para kapitalis yang berada di balik Vought International.

Eksploitasi superhero oleh korporasi

Penampilan gedung Vought International sebagai korporasi yang menaungi The Seven agar para superhero dimanfaatkan sebagai sumber keuntungan finansial.
(Sumber: fictionalbrandsarchive.com)

Sebagai serial yang membuat penontonnya mempertanyakan moralitas, The Boys berfungsi juga sebagai kritik tentang eksploitasi korporat terhadap para superhero akibat masyarakat yang terpesona dan memuja mereka. Vought International merepresentasikan sebagai perusahaan yang hanya fokus kepada keuntungan finansial yang mereka dapatkan dengan cara apa pun, seperti memanipulasi persepsi publik sampai menutupi sikap buruk superhero agar mempertahankan citra mereka yang ramah dan baik hati. Dari masalah tersebut, serial ini menggambarkan tentang komodifikasi heroisme, yaitu menjaga keuntungan finansial dan kesepakatan sponsor lebih penting daripada menyelamatkan nyawa makhluk hidup.

***

Itulah tiga dari banyak hal yang saya dapatkan setelah menonton The Boys yang sejauh ini sudah mencapai musim ketiga. Serial tersebut menantang status quo, membedah konsep heroisme tradisional, dan menjelajahi konsekuensi dari kekuatan super yang tidak terkendali akibat eksploitasi korporat yang berada di belakangnya. Dengan para karakternya yang bersifat "abu-abu" dan humor gelap yang ditampilkannya, The Boys menawarkan jalan cerita yang menarik dan relevan untuk ditafsirkan pada masa kini, mendorong batas-batas moral superhero yang seringkali dianggap baik hati oleh masyarakat. Sebab, dalam genre arus utama yang sering ditandai bahwa sosok baik dan jahat digambarkan secara jelas, serial ini berfungsi sebagai dekonstruksi yang menyegarkan dan diperlukan terhadap kompleksitas manusia dalam memahami konsep heroisme.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.