A Ninety Seven Days Love Story


Setelah sekitar tiga bulan lebih gue menjalani sebuah hubungan yang bernama LDR, dengan sangat terpaksa kini harus berakhir. Kalau misalnya ada yang belum tahu hubungan LDR gue dengan (mantan) pacar gue, bisa baca di postingan gue sebelumnya.

LDR... seperti kepanjangannya yang ber-arti Long Distance Relationship merupakan sebuah hubungan yang harus rela menahan rasa kangen untuk bertemu karena jarak dan waktu yang memisahkan. Seperti itulah yang gue rasakan beberapa waktu lalu. Gue yang sekarang berstatus sebagai mahasiswa harus rela meninggalkan (mantan) pacar gue yang berada di SMA tempat gue bersekolah dulu.

Kalau gue boleh flashback, sebenarnya sewaktu gue menyatakan isi hati gue ke si (mantan) pacar, gue tahu kalau LDR itu sudah menanti di depan mata. Tapi yang gue suka darinya adalah... sebelum dia menerima dan mengatakan “iya” atas pertanyaan dari isi hati gue itu, dia berkomitmen kalau gue harus siap dengan segala hal yang sewaktu-waktu bisa menjadi kendala untuk hubungan kami. Beberapa komitmen yang kami setujui adalah... 1) Hubungan jarak jauh sudah pasti harus kami terima; 2) Dia bukan tipe wanita yang boleh keluar seenaknya tanpa izin orangtua. Jadi, kalau misalnya gue mau mengajak dia jalan, gak boleh sampai terlalu sore; dan 3) Harus ada perasaan terbuka dan saling percaya satu sama lain. Jadi kalau misalnya kami punya masalah, masalah yang sedang kami hadapi itu kami cari solusinya supaya bisa kembali baik seperti semula. Yah, komitmen itu memang sangat penting untuk membangun sebuah hubungan yang harmonis.

Ketika baru beberapa minggu gue menjalani LDR, gue masih bisa berkomunikasi dengan lancar dengan si (mantan) pacar dan masih bisa membagi waktu untuk bertemu. Pertama kali kami bertemu sekitar pertengahan bulan Juli lalu sebelum memasuki bulan Ramadhan. Gue mengajak dia ke salah satu restauran cepat saji di daerah Citra Raya. Disana kami menghabiskan waktu dengan curhat dan saling menceritakan tentang diri kami masing-masing.

Satu bulan berlalu. Alhamdulillah, kami masih bisa berkomunikasi dengan lancar walaupun saat itu dia sudah sibuk dengan rutinitasnya sebagai pelajar SMA. Iya, gue sendiri saat itu masih nganggur karena masih menunggu pengumuman kelulusan masuk universitas. Tapi ketika pengumuman kelulusan tiba dan Alhamdulillah gue diterima di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, waktu untuk kami komunikasi pun mulai agak berkurang. Meskipun begitu, gue dan dia masih bisa bertemu. Kami bertemu pas sehari sebelum gue menjalani OSPEK di kampus.

Dua bulan berlalu. Gue merasakan ada hal yang sudah membuat gue dengan dia terasa semakin jauh. Selain karena sudah berkurangnya komunikasi, rutinitas kami yang sudah mulai sibuk pun menjadi salah satu penyebab utamanya. Bisa dihitung, berapa kali gue bisa SMS ke dia dalam sehari. Tapi di balik rutinitas kami yang sudah mulai sibuk, kami masih bisa menyempatkan diri untuk sekadar mengirim SMS yang berisi ‘ucapan selamat pagi’ atau sekadar untuk mengingatkan makan. Bagi gue, SMS ucapan selamat pagi dari seseorang yang disayang itu bisa membangkitkan semangat untuk menjalani rutinitas sehari-hari. Mungkin kalau dilihat dari SMS yang dikirim memang begitu sederhana, tapi gue merasakan hal yang luar biasa dari SMS tersebut, yaitu... rasa perhatian. Rasa saling perhatian memang sangat perlu dalam sebuah hubungan supaya tetap harmonis. Tapi rasa perhatian itu juga nggak boleh terlalu berlebihan, karena bisa-bisa dianggap lebay.

Oke, kembali ke cerita. Di saat gue cuma bisa SMS-an dengan dia hanya beberapa kali dalam sehari, gue juga bisa menelepon dia hanya pas malam Minggu saja. Yah memang beginilah LDR, handphone menjadi benda yang paling setia menemaninya. Tanpa handphone, berarti gak ada komunikasi.

Salah satu hal yang paling gue suka sama (mantan) pacar gue itu adalah ketika ada masalah yang tiba-tiba masuk ke dalam hubungan kami, semacam gosip-gosip yang gak jelas, dia selalu mengatakan ke gue, “Just stay positive. It makes everything run well”. Gue merasa dia memang wanita yang cukup dewasa, walaupun kenyataannya gue yang berumur lebih dewasa dari dia, malah gue yang sering ngambek gak jelas. #Pffttt

Memasuki bulan ketiga, sekitar awal bulan Oktober ini kami memang sudah jarang berkomunikasi. Salah satu penyebabnya adalah UTS (Ujian Tengah Semester). Jadi ceritanya hari Senin di minggu kedua bulan Oktober ini, dia akan melaksanakan UTS. Pantas saja ketika hari Minggu sehari sebelum dia melaksanakan UTS, dia sudah nggak membalas SMS gue dari pagi. Gue telepon pun handphone-nya sudah nggak aktif. Saat itu gue berpikir positif saja, seperti apa yang pernah dia bilang. Sore harinya di hari yang sama, ketika gue sedang membuka twitter, gue melihat ada Direct Message (DM) yang masuk ke akun twitter gue. Ternyata itu dari dia, saat itu perasaan gue pun lega, akhirnya ada kabar juga darinya. DM dari dia pun segera gue buka dan ternyata isinya tuh kalau selama dia sedang melaksanakan UTS, dia gak boleh memegang handphone sama sekali oleh mamanya. Oke, karena itu memang untuk kebaikkan, gue pun gak masalah. Selama dia melaksanakan UTS, kami hanya bisa berkomunikasi lewat DM di twitter. Walaupun cuma beberapa pesan yang kami kirim, tapi gue rasa itu sudah cukup untuk sekadar memberi kabar, daripada gak sama sekali.

Seminggu pun berlalu, dan itu berarti kalau dia sudah selesai melaksanakan UTS. Dia pun mengirimkan DM ke gue kalau ternyata handphone-nya masih belum bisa diambil dari mamanya. Saat itu gue tiba-tiba merasa kalau misalnya dia gak megang handphone, berarti komunikasi kami gak akan lancar lagi seperti minggu sebelumnya. Gue pun membalas DM-nya seperti ini, “Semenjak hape kamu dipegang mama, jadi gak ada yang perhatian ke kakak. Gak ada yang ngingetin makan, dan lain-lain.”, kurang lebih seperti itu. Ohh iya, gue belum ngasih tahu kalau selama kami menjalani hubungan spesial, panggilan untuk gue ke dia atau sebaliknya pun biasa saja seperti sebelum kami jadian, gak ada sama sekali panggilan spesial diantara kami, seperti “Ayah - bunda”, “Mimih - Pipih”, “Kebo - Kambing”, “Endut - Embem”, “Bebe - Bubu”, atau apalah panggilan spesial yang gue rasa malah terdengar absurd yang dipakai anak remaja jaman sekarang. Gue cukup memanggil dia dengan nama panggilan aslinya dan dia memanggil gue dengan sebutan “kakak”, mungkin sesekali kami membubuhkan kata “sayang” di  belakang nama panggilan kami. Menurut gue, memang lebih baik memanggil nama pacar dengan namanya yang asli. Kenapa? Karena nama yang diberikan oleh orangtua ke kita itu pasti lebih bermakna dan berkah daripada nama-nama yang kita buat-buat sendiri. Beda lagi kalau misalnya kalian memang sudah punya ikatan pernikahan dengan pasangan masing-masing. Gue rasa di saat itulah kalian boleh memanggil pasangan kalian dengan nama yang spesial. Gue sih cuma mau memberikan opini, mau setuju atau enggak, itu semua kembali pada diri kalian masing-masing.

Oke, kembali ke cerita. Setelah beberapa jam kemudian dia pun membalas DM yang gue kirim, isinya kurang lebih seperti ini, “Emang sebelum kakak kenal aku, kalo kakak mau makan harus ada yang ingetin dulu? Enggak kan? Nah berarti kakak juga bisa kalo gak aku ingetin”. Seketika itu gue langsung terdiam. Ternyata #kode yang gue kasih ke dia, gak tersampaikan secara lancar. Iya, sebenarnya DM yang gue kirim sebelumnya adalah #kode untuk dia dan gue berharap dia membalasnya dengan penuh kata-kata manja. Benar banget, memang saat itu gue sedang kangen dengannya karena satu bulan lebih gak bertemu dan jarangnya kami berkomunikasi. Tapi setelah dia membalas dengan kalimat seperti itu, gue yang gak mau terlihat desperate pun akhirnya memutuskan untuk membalas seperti ini, “Umm... tadi kakak cuma becanda kok.” (padahal dalam hati: KENAPAAA??? KENAPAAA KAMU BALES DENGAN KALIMAT YANG “KAKU” KAYAK GITU???!!!). Kemudian, air dari shower pun bercucuran.

Setelah perbincangan di DM tadi, gak berapa lama kemudian gue merasa ada hal yang memang harus gue sampaikan ke dia. Memang persoalannya sederhana, cuma gara-gara kalimat “kaku” dari dia tadi. Tapi gak tahu kenapa hati gue jadi #jleb setelah melihat kalimat itu dan langsung mengirimkan DM ke dia yang isinya adalah curhatan gue. Ohh iya, ada satu hal lagi yang membuat hati gue jadi tambah kesal. Ternyata tiba-tiba ada cewek yang gue kenal sebagai sahabat dari (mantan) pacar gue itu mengirimkan DM ke gue yang isinya kalau (mantan) pacar gue lagi dekat dengan seorang cowok di sekolahnya. Iya gue tahu, saat itu gue merasa kalau hidup gue seperti di dalam sinetron-sinetron TV yang kalau misalnya si tokoh utama sedang ada masalah, pasti ada masalah lain yang datang padanya supaya tuh sinetron bakal tayang terus dan tamatnya lama. Tapi yang gue alami saat itu bukanlah sebuah kehidupan di sinetron yang bisa di-“cut” kapan saja dan bisa diperbaiki dari awal. Akhirnya, gue pun gak terlalu menanggapi DM dari tuh cewek yang datang secara tiba-tiba.

Yah, setelah itu gue banyak banget ngirim DM ke (mantan) pacar yang berisi kekecewaan yang gue rasakan. Padahal dia sempat mengucapkan permintaan maaf, tapi karena pada saat itu pikiran gue lagi gak terkontrol, jadinya gue gak mempedulikan kalimat maaf itu dan terus mengirimkan DM. Pokoknya inti dari DM yang gue kirim adalah kalau gue menginginkan... hubungan kami harus berpisah. Ketika gue mengirimkan pesan terakhir yang berisi kata ‘perpisahan’, dia pun langsung membalas kurang lebih isinya seperti ini, “Makasih ya kak udah positive thinking selama ini. Kalo emang kakak maunya gitu, yaudah gak apa-apa, aku ngerti kok”. Padahal saat itu hati kecil gue yang masih sadar bilang, “BEGO LU, GUNG! KENAPA LU JADI EGOIS KAYAK GINI! Ini kan sebenernya masalah kecil yang bisa dibicarain baik-baik. Nggak perlu ada kata ‘pisah’! Gue harap dia bisa nolak kata ‘pisah’ dari yang diri gue kirim lewat DM barusan.. dan bisa melanjutkan hubungan ini seperti biasanya”. Tapi ‘nasi putih sudah menjadi nasi goreng’, kata-kata yang gue kirim barusan mungkin sudah membuat hatinya kecewa dan percuma untuk gue yang gak akan bisa mengulang kejadian tersebut dari awal untuk memperbaikinya. Dan yang baru gue sadar saat itu adalah... gue mengatakan kata ‘pisah’ ke dia sehari sebelum hari ulangtahun gue, yang bertepatan juga dengan 97 hari kami jadian. Gue berpikir, kenapa di hari yang gue anggap istimewa itu harus dinodai oleh diri gue sendiri dengan membuat hati seorang wanita yang gue sayang menjadi kecewa.

Ketika di hari ulangtahun gue pun, dia masih menyempatkan diri untuk mengirimkan SMS ucapan selamat ulangtahun ke gue sekitar jam 2 pagi. Dia juga menjadi orang pertama yang mengucapkan ucapan selamat ulangtahun ke gue. Mungkin kalau kalian bertanya-tanya, “Kok dia bisa ngucapin lewat SMS? Katanya hapenya lagi dipegang sama nyokap?”. Ternyata pas gue tanya di pagi hari (tentunya masih lewat DM), handphone-nya tuh sudah boleh dibawa karena pada saat itu dia mau mengikuti lomba debat di Provinsi dari sekolahnya. Dan handphone tentu saja menjadi salah satu alat komunikasi yang penting untuk dia supaya bisa tetap berhubungan dengan mamanya di rumah. Seketika itu gue langsung termenung. Coba saja saat itu gue belum mengatakan kata ‘pisah’, mungkin hubungan dan komunikasi kami akan menjadi baik-baik saja.

Sekitar dua hari setelah kami berpisah, hubungan kami masih terasa dekat. Kami masih bisa ngobrol seperti biasanya (tentunya masih lewat DM), walaupun gue merasakan kalau dia masih kecewa atas keputusan gue beberapa hari lalu. Tapi gak tahu kenapa sekitar tiga hari sampai saat gue menulis postingan ini, kami malah menjadi sangat jauh. Gak ada lagi komunikasi diantara kami. Gue pun sadar, penyebab utamanya adalah gue yang jelas-jelas memutuskan hubungan yang sudah berjalan selama 97 hari itu.

Di twitter, gue memang sering meng-update tweet yang isinya antara lain kalau gue gak terlihat galau setelah berpisah dengannya dan sudah bisa move on. Padahal... sebenarnya di dunia nyata, gue malah sering ngelihatin foto-foto dia yang sampai saat ini masih gue simpan di laptop dan di handphone. Gue sadar kalau apa yang gue lakukan saat itu adalah hal yang kurang bijaksana, gue lebih mempentingkan rasa yang gue alami sendiri tanpa memperhatikan perasaan yang (mantan) pacar gue rasakan. Hubungan yang telah kami jalani selama 97 hari pun menjadi gak ber-arti setelah gue menyatakan kalau kami harus berpisah. Mungkin kalau misalnya kami berpisah dengan cara yang baik, mungkin ceritanya juga gak akan menjadi seperti ini. Tapi itulah kehidupan, rasa penyesalan selalu muncul di akhir. Gue pun mencoba untuk tidak menyesal atas apa yang telah gue alami saat ini, dan gue harus menjadikan pengalaman gue ini sebagai sebuah pelajaran supaya gak terulang lagi di kemudian hari.

Sesaat gue membayangkan kalau suatu hari nanti gue dan dia gak sengaja bertemu entah di mana, apakah sekadar kata “Hai!” masih bisa terucap? Atau apakah gue dan dia bakal diam berpura-pura merasa gak pernah terjadi apapun diantara kami? Umm... mungkin hanya waktu yang bisa menjawab. Yang pasti gue berharap meskipun gue dan dia udah gak punya hubungan spesial lagi, setidaknya kami masih bisa menjadi seorang teman.

Gak terasa gue sudah menulis curhatan sepanjang ini. Semoga kalian yang membaca postingan gue kali ini bisa mengambil sisi positif ataupun pelajaran dari curhatan gue di atas. Gue juga berharap setelah kalian membaca postingan gue ini, kalian gak menganggap gue sebagai pria yang lebay, sok dramatis, atau apapunlah semacam itu. Gue cuma mau berbagi pengalaman dan menulisnya di blog. Oke, keep positive thinking because it can make everything runs well.

Dan yang terakhir untuk (mantan) pacar yang daritadi gue ceritakan, gue cuma mau bilang,

“Terimakasih ya untuk perhatian yang udah kamu kasih ke kakak. Maaf kakak udah buat kamu kecewa, waktu itu kakak lagi emosi dan gak bermaksud untuk mengakhiri hubungan ini. Tapi semuanya udah terlanjur menjadi seperti ini. Kakak harap kamu masih bisa menerima kakak di kehidupan kamu sebagai teman. You’re the special one who could make my heart felt so colorful. Iya, ini untuk kamu... Yayang Diyen Amelia. Terserah kamu mau menanggapi tulisan kakak ini seperti apa, yang penting kakak menulis kalimat-kalimat ini bener-bener dari hati.”

THE END

Post a Comment

2 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.