Lampu Jalan beserta Kenangannya

Ilustrasi lampu jalan dan suasana di sekitarnya.
(Sumber gambar: freepik.com)

Di kamarnya yang sederhana, Sarah duduk di tepi tempat tidur, jari-jarinya menggenggam sebuah foto yang sudutnya sudah mulai menguning. Cahaya lampu meja yang redup menerangi wajahnya, memperlihatkan senyum kecil yang bercampur luka. Foto itu menangkap momen dia dan Farhan, berdiri berdekatan di bawah lampu jalan, rambutnya tertiup angin malam, dan mata Farhan memandangnya penuh kehangatan. Sarah mengusap foto itu dengan ibu jarinya, seolah-olah bisa merasakan detak jantung Farhan melalui kertas yang rapuh itu.

“Tiga tahun lalu,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan malam. Ia menutup mata, dan ingatan itu kembali membanjiri pikirannya—tawa mereka yang menggema di jalanan sepi, janji yang terucap di antara desir angin, dan ciuman pertama yang hangat di bawah cahaya lampu jalan itu.

***

Waktu itu, lampu jalan di ujung gang adalah tempat mereka selalu bertemu. Sarah masih ingat malam saat Farhan menggenggam tangannya, jari-jarinya sedikit gemetar, lalu berkata, “Aku nggak akan pernah ninggalin kamu sendirian, Sarah. Tunggu aku pulang, ya?” Ia mengangguk, matanya berkaca-kaca, meski saat itu ia belum tahu bahwa janji itu akan diuji. Beberapa minggu kemudian, Farhan harus pindah ke Jakarta untuk kuliah, meninggalkan Sarah di kota kecil mereka. Mereka saling menguatkan dengan pesan singkat dan menelepon di malam hari, tapi seiring waktu, jarak mulai menggerogoti kebersamaan mereka.

Sarah sering duduk di bangku kayu tua dekat lampu jalan itu, menatap kosong ke arah jalan yang pernah mereka lalui bersama. Terkadang, ia memegang kalung kecil yang diberikan Farhan saat ulang tahunnya yang ketujuh belas—rantai sederhana dengan liontin berbentuk hati. Ia menempelkannya ke dadanya, berharap bisa merasakan Farhan di dekatnya. Namun hari-hari berlalu, dan pesan dari Farhan semakin jarang datang. “Sibuk,” katanya dalam salah satu pesan terakhirnya. Sarah hanya tersenyum tipis membaca itu, tapi di dalam hatinya, ia bertanya-tanya apakah Farhan masih mengingatnya.

Di Jakarta, Farhan duduk di kamar kosnya yang sempit, dikelilingi buku-buku kuliah yang berserakan. Di sakunya, ia selalu membawa foto yang sama—foto yang mengabadikan mereka di bawah lampu jalan. Setiap kali ia merasa terpuruk, ia mengeluarkan foto itu, menatap senyum Sarah, dan berbisik pada dirinya sendiri, “Aku harus kuat buat dia.” Tapi ia tak pernah bilang itu pada Sarah. Iatakut kata-katanya tak cukup, takut Sarah tak lagi percaya padanya.

Malam itu, angin dingin berembus saat Sarah berjalan pulang dari toko kelontong. Ia melewati lampu jalan itu lagi, dan tanpa sadar, langkahnya terhenti. Cahaya kuning yang temaram jatuh di wajahnya, dan ia mendongak, mengingat malam saat Farhan menciumnya di sana. Bibirnya bergetar saat ia berbisik, “Farhan, kamu di mana?”

***

Beberapa hari kemudian, sebuah amplop cokelat tua sampai di tangan Sarah. Tulisan tangan Farhan yang khas tertera di atasnya, sedikit bergetar seperti ia menulisnya dengan tergesa-gesa. Dengan jantung berdegup kencang, Sarah membukanya. Di dalamnya ada foto mereka—yang sama yang selalu ia pegang—dan selembar kertas yang berbau samar seperti kopi.

“Sarah,” tulis Farhan, “aku tahu aku nggak pandai bilang apa yang aku rasain. Cinta itu kadang menyakitkan, tapi hanya itu yang bikin aku merasa hidup. Foto ini aku simpan di dalam dompetku setiap hari. Aku kangen kamu, Sarah. Tunggu aku pulang, ya? Aku janji, aku nggak akan biarin kamu sendirian.”

Air mata Sarah jatuh menodai kertas itu. Ia tertawa kecil di antara isakannya, merasakan beban yang selama ini menggantung di dadanya perlahan menguap. Ia menggenggam foto itu erat-erat, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, ia merasa utuh lagi.

Di Jakarta, Farhan menatap layar ponselnya, menunggu balasan dari Sarah. Ketika pesan singkat masuk—“Aku tunggu kamu pulang, Farhan”—ia tersenyum, matanya berkaca-kaca. Ia tahu, meski jarak memisahkan mereka, cinta mereka tetap hidup, terjaga dalam kenangan dan janji yang mereka pegang erat.

Malam itu, Sarah berdiri lagi di bawah lampu jalan, memegang kalungnya erat-erat. Angin malam membelai rambutnya, dan ia berbisik pada langit, “Aku nggak akan lepaskan kamu, Farhan. Sampai kamu pulang.”

Dan di suatu tempat yang jauh, Farhan menutup mata, mengingat ciuman mereka di bawah lampu jalan itu, berjanji dalam hati bahwa ia akan kembali untuk Sarah—untuk cinta yang menyakitkan sekaligus menyembuhkan, yang mereka abadikan dalam foto dan hati masing-masing.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.