Jawaban dari sebuah Ungkapan Perasaan

Sumber gambar: istockphoto.com

Saya pertama kali mengenalnya dari sebuah grup WhatsApp dan tidak pernah menyangka ia akan menjadi pacar saya. Grup WhatsApp yang dimaksud adalah sebuah grup yang kebanyakan diisi oleh mahasiswa dan mahasiswi yang berada di bawah angkatan saya, bisa dibilang saat itu saya adalah salah dua mahasiswa senior yang bergabung di grup tersebut; satu lagi adalah teman dekat saya.

“Oke, masukin aja nomor gue ke dalam grup. Seenggaknya, gue jadi bisa berkenalan dengan teman-teman di angkatan yang berbeda tiga tahun di bawah kita. Hehe,” jawab saya setelah teman saya itu menanyakan apakah saya ingin bergabung ke dalam grup diskusi tersebut atau tidak.

Teman saya itu membentuk grup tersebut, seingat saya, supaya ia bisa mengenal lebih jauh anggota organisasi yang sama-sama kami ikuti yang kebetulan adalah para mahasiswa yang berbeda tiga tahun di bawah kami. Ia memang mudah bergaul dengan siapa saja di lingkungan kampus, khususnya yang mengikuti organisasi yang digelutinya. Karena keahlian bergaul yang dimilikinya tersebut, saya berusaha untuk mudah bergaul juga dengan para junior.

Setelah saya masuk ke grup WhatsApp, memang benar bahwa satu pun tidak ada yang saya kenal, selain satu teman saya itu. Namun, mereka langsung menyambut saya dengan meriah. Saya pun membalas pesan yang masuk dengan mengatakan bahwa saya senang bisa mengenal mereka. Salah satunya adalah dia, perempuan yang kelak menjadi pacar saya. Ia sudah bergabung di dalam grup dan saya beberapa kali merespons pesannya di sana. Meskipun begitu, saat itu ia dan saya masih belum memiliki suatu perasaan yang khusus, sehingga saya belum bisa mengajaknya mengobrol secara personal di WhatsApp. Itu terjadi sekitar Oktober 2016.

Satu tahun kemudian, tepatnya di pertengahan September 2017, ia─perempuan yang saya maksud─ternyata juga sudah menyimpan nomor WhatsApp saya, sehingga saya pun bisa mengetahui status yang diperbaruinya di sana. Saat itu, saya sudah tidak bergabung dengan grup yang sudah saya ceritakan sebelumnya. Alasan saya keluar adalah karena saya mengikuti ajakan teman saya yang memutuskan keluar juga. Sebab, saya merasa tidak enak jika hanya saya sendiri yang menjadi mahasiswa angkatan paling tua di sana.

Pada awal saya mengomentari statusnya yang sedang menunjukkan dua tiket film Warkop DKI Reborn: part 2, ia hanya membalas seadanya dan saya pikir memang ia tidak ada niat untuk memperpanjang obrolan dengan saya. Maklum, itu adalah gerakan pertama saya supaya setidaknya ia bisa mengenal diri saya terlebih dahulu. Urusan apakah responsnya baik atau tidak kepada pesan yang saya kirim, itu urusan belakangan.

Setelah percobaan awal saya dari mengomentari status WhatsApp-nya, saya mulai mencari media sosial yang ia miliki. Instagram adalah media sosial pertama yang saya coba untuk menemukan keberadaan dirinya. Setelah saya memasukkan nama panjangnya, saya pun menemukannya. Sayangnya, akun Instagram yang ia punya ternyata digembok, sehingga saya tidak bisa melihat berbagai foto yang diunggahnya di sana jika ia belum menerima permintaan bahwa saya mengikuti akunnya. Tidak apa-apa, sabar saja, Gung. Ikuti prosesnya. Beberapa hari kemudian, ia menerima permintaan follow dari saya di Instagram dan ia mengikuti balik akun saya. Saya pun senang.

Karena saya belum mempunyai alasan untuk mengajaknya mengobrol lagi di WhatsApp, sampai memasuki awal Oktober 2017, saya dan ia tidak berkomunikasi sama sekali. Namun, tak disangka, memasuki pertengahan Oktober, ia mengirimkan pesan ke nomor WhatsApp saya untuk menanyakan tentang dosen yang sedang ia hadapi di semester lima. Wah, saya jadi merasa ada harapan untuk terus mendekatinya. Lalu, saya menjawab pertanyaannya dan memberitahu bahwa dosen yang mengajarkan matakuliah semester lima di kelasnya memiliki karakter yang berbeda-beda, ada yang tegas, ada yang akan memberikan banyak tugas, dan lain-lain. Dari percakapan tersebut, sedikit demi sedikit saya bisa memulai obrolan bersamanya lagi.

Memasuki awal November 2017, ketika saya memperbarui status di WhatsApp, tiba-tiba ada pesan masuk yang menandakan bahwa ada seseorang yang mengomentari status saya. Oh, ternyata itu dari dia.

“Duh, jadi ingin cepat diwisuda juga,” komentarnya tentang status saya yang menampilkan foto saya dengan seorang teman yang baru saja diwisuda sehari sebelumnya.

“Iya, kamu nanti pasti diwisuda. Nikmati aja dulu proses dan perjuangannya, ya,” saya menjawab dengan bermaksud supaya bisa membangun obrolan selanjutnya.

Dan, tanpa saya prediksi sebelumnya, ternyata dari obrolan itu, saya dan ia bisa terus mengobrol sampai membahas berbagai macam hal. Mulai dari kegiatan yang dilakukannya di kampus sampai candaan yang hanya dimengerti oleh kami berdua. Saya senang dengan kemajuan dalam pendekatan yang saya lakukan. Saya tidak mengira bahwa sebenarnya ia adalah perempuan yang enak diajak mengobrol dan responsif terhadap apa yang saya bicarakan, entah itu pembicaraan yang santai ataupun serius.

Waktu berjalan dengan cepat dan tanpa terasa Desember 2017 sudah tiba, ternyata saya dan ia sudah sering melakukan obrolan via WhatsApp. Banyak hal yang sudah kami bicarakan dan kebanyakan obrolan kami memang disisipi dengan candaan. Untungnya, selera humor kami cocok dan ketika saya mengeluarkan candaan "garing" pun, ia tetap meresponsnya dengan sukacita.

***

Karena niat awal saya mendekatinya adalah untuk menjadikannya sebagai pacar saya, maka obrolan yang saya keluarkan mulai mengarah ke hal-hal tersebut. Saya cukup khawatir jika ternyata ia belum bisa menerima niat saya untuk mendekatinya. Setelah kami cukup sering bercerita, tahulah saya tentang masa lalunya dan pengalamannya dalam menjalani hubungan berpacaran. Ia menunjukkan sikap bahwa ia belum bisa memulai hubungan yang baru. Ia masih dalam masa penyembuhan dari hubungan di masa lalunya. Mengetahui hal tersebut, saya menjadi cukup pesimistis untuk melanjutkan pendekatan.

Saya berusaha terus untuk meyakinkannya bahwa saya serius suka kepadanya. Jadi, karena selama ini kami lebih banyak menghabiskan waktu mengobrol via teks dan sesekali via telepon, saya akhirnya memutuskan untuk mengajaknya bertemu langsung. Sebenarnya, sudah dua kali saya pernah melihatnya langsung di kampus ketika saya belum diwisuda; pertama ketika kami sedang menghadiri sebuah seminar dan kedua saat ia menjadi panitia perayaan ulang tahun jurusan kami, Bahasa dan Sastra Inggris, dan saya datang menyaksikan acaranya. Walaupun begitu, pertemuan tersebut terjadi ketika saya dan ia belum saling mengenal, jadi tidak ada obrolan dan sapaan berkesan yang kami lakukan. Mengingat kejadian itu, saya jadi membayangkan, seandainya saja saya sudah mengenalnya lebih dekat sejak awal, mungkin ceritanya akan berbeda. Tapi ya sudahlah, saya bersyukur bahwa akhirnya kami bisa menjadi dekat dan mengetahui kecocokan masing-masing.

***

Ia setuju bahwa saya bisa bertemu dengannya di kedai piza dekat kampus kami pada 11 Januari 2018. Di obrolan pada hari sebelumnya, saya mengatakan padanya bahwa saya ingin mengungkapkan segala hal yang sudah saya rasakan selama beberapa bulan terakhir sejak kami mulai dekat. Ia pun setuju, dan ingin mengungkapkan juga segala hal yang ia rasakan.

***

Saya berangkat dari rumah menggunakan KRL dan turun di stasiun yang dekat dengan lokasi tujuan, sedangkan ia berangkat dari rumah mengendarai motor. Kami berencana untuk langsung bertemu di kedai piza yang sudah disepakati. 

Sekitar pukul satu siang di sebuah kedai piza di lantai dua. Saya dan ia sudah duduk berhadap-hadapan. Suasana cukup sunyi saat itu karena yang mengisi meja di sana hanya kami dan seorang laki-laki dan perempuan beserta anak mereka yang masih balita. Kemudian, karena mereka sudah meninggalkan meja sekitar lima menit setelah kedatangan kami, sehingga tinggal kami berdua yang mengisi ruangan. Saya merasa bahwa semesta sudah berkonspirasi agar saya bisa tenang mengungkapkan isi hati kepadanya secara langsung tanpa ada gangguan orang lain di sekitar. 

Sekitar lima belas menit sejak kedatangan kami, piza yang kami pesan pun datang. Kami memutuskan untuk mengobrol ringan terlebih dahulu sambil menyantap piza. Oh iya, selain ada piza, ada juga minuman yang dibeli olehnya dari luar. Minuman tersebut, ia memberitahu  kepada saya, bernama matcha. Sehari sebelumnya, ia memang sudah berjanji membawakannya untuk diminum berdua bersama saya di kedai piza. Saya yang belum pernah mencoba minuman tersebut, langsung mengiyakan karena saya memang ingin merasakannya.

“Apa kamu suka?” Ia bertanya dengan antusias ketika minuman tersebut diberikan kepada saya, lalu menunggu jawaban dari saya dengan ekspresi penasaran.

“Iya, suka kok. Ternyata manis juga, ya... kayak kamu. Hehe,” saya menjawab dengan sedikit menggodanya. Membuat ia menunjukkan ekspresi sumpeh-lo kepada saya. Saya pun tertawa dan ia juga. Saya jadi bisa melihat senyum dan tawanya secara langsung. Dan, senyumnya memang manis. Tapi, saya hanya mengatakannya di dalam hati, khawatir saya terlalu banyak mengeluarkan perkataan gombal dan membuatnya mual. 

Kami pun segera sadar bahwa di kedai piza yang kami pilih, mereka melarang para pelanggannya untuk membawa minuman dari luar. Pantas saja pegawai di sana menjadi jutek ketika melihat kami minum minuman yang dibeli bukan dari dalam kedai piza. Lalu, si pegawai mengatakan, “Tolong segera dihabiskan ya minumannya!” Saya dan ia hanya saling membalas pandangan mendengar perkataan tersebut dan sedikit tertawa karena kami sudah cukup “nakal” melanggar peraturan yang jelas-jelas sudah kami ketahui sejak awal kami masuk ke sana.

Kembali ke pembahasan tentang tujuan kami bertemu. Sekitar satu jam setelah kami berada di kedai piza, saya mulai mengumpulkan nyali untuk mengungkapkan isi hati yang selama ini mengganjal di dalam diri saya.

“Ma-ma-maukah kamu jadi pa-pa-pacarku?” ungkap saya secara langsung. Damn, tiba-tiba saya menjadi gugup dan ucapan yang saya keluarkan menjadi kurang jelas. 

 “Hahaha. Aku senang melihat kamu gugup seperti itu. Kamu tanya apa tadi? Aku nggak dengar nih karena kamu ngomongnya nggak jelas dan pelan,” tanyanya sambil sedikit mengeluarkan tawa. Saya menjadi semakin gugup. Jantung saya semakin berdetak lebih kencang.

“Itu... Apa tuh... Ummm... Maukah kamu jadi pacarku?” saya bertanya sekali lagi, berharap ia segera menjawab dan membuat perasaan saya lega. Ternyata tidak. Ia tetap menatap saya sambil berkata,

“Tuh, kan, kamu gugup. Hahaha. Aku suka melihat kamu kayak gitu. Nanti aja ya aku jawabnya. Aku masih suka kamu terlihat gugup gitu. Hihihi. Lucu.”

Jika kau berada di sana dan melihat ekspresi saya ketika mengungkapkan pertanyaan sakral tersebut, mungkin kau juga akan seperti dirinya yang menikmati kegugupan yang saya tunjukkan. Rasanya saya seperti kembali di-ospek oleh senior di kampus. Hiks.

Mungkin karena ia merasa cukup puas melihat saya gugup dan khawatir saya akan buang air kecil di celana, ia langsung merespons dengan anggukan.

“Jadi, apa jawabannya?” tanya saya yang masih belum jelas dengan gerakan yang ia tunjukkan.

Ia mengangguk lagi sambil tersenyum.

“Iya? Kamu nerima aku jadi pacarmu?!”

“Duh, kamu ini ya, masa belum jelas jugaaa. Iyaaa, aku mau. Hehehe.”

Rasa bahagia menghampiri seluruh badan saya. Ingin rasanya saya melompat-lompat di dalam ruangan sambil berteriak “YEEEEEAAAAHHHH!!!” lalu bersujud syukur. Tapi selebrasi tersebut saya urungkan karena terdapat CCTV di dalam ruangan dan saya khawatir dianggap sedang kesurupan dan videonya menjadi viral. Jadi, saya berusaha tetap tenang dan bersikap seelegan mungkin.

“Terima kasih, ya,” ucap saya kepadanya. 

Setelah momen pengungkapan isi hati saya itu, kami mengobrol lagi. Tapi, kali ini tentang visi dan misi kami dalam menjalin hubungan. Kami sudah pernah mengalami kegagalan di hubungan sebelumnya, jadi kami merasa wajib untuk mengevaluasi faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kegagalan tersebut supaya kami bisa memperbaikinya di hubungan kami sekarang ini.

Setelah kami bicarakan, kami pun mendapat kesimpulan:

Pertama, kami harus bisa membuat percakapan kami selancar mungkin. Jadi, tidak ada tuh yang merasa kaku di antara kami ketika mengobrol secara langsung ataupun via teks. Itu kami lakukan karena di hubungan sebelumnya, ia merasa kaku dan tidak menjadi dirinya sepenuhnya ketika mengobrol langsung bersama lelaki yang dulu pernah menjadi pacarnya. Ia tidak ingin mengulang lagi kejadian itu. Saya pun setuju. Lagipula, selama pendekatan yang saya lakukan kepadanya, kami memang sudah menemukan irama obrolan yang ternyata cocok. Begitu juga dengan candaan kami yang memang cocok juga.

Kedua, ketika ada kesalahan, bicarakanlah baik-baik, jangan langsung memarahi dengan nada kasar. Itu terjadi juga dari pengalaman yang ia rasakan sebelumnya. Jadi, ia pernah sekali melakukan sedikit kesalahan dan berdampak kepada si (mantan) pacar. Karena si (mantan) pacar merasa perbuatannya itu salah, ia langsung dimarahi seperti seorang ayah memarahi anaknya yang belum mengerti apa-apa. Sejak saat itu, ia menjadi kesal dengan lelaki yang tidak pengertian dan bertipe suka cepat marah terhadap hal-hal yang sebenarnya bisa dibicarakan secara baik-baik.

Ketiga, harus saling terbuka dalam komunikasi. Jadi, sebisa mungkin kami harus bisa mengungkapkan segala hal yang kami simpan di dalam hati supaya komunikasi kami berjalan lancar. Apa pun itu. Karena ketika kami sudah berkomitmen untuk menjalani hubungan bersama, berarti kami harus bisa dengan nyaman membicarakan isi hati supaya tidak ada yang mengganjal.

Keempat, sajikan nasi goreng yang telah matang pada piring saji. Kita bisa menambahkan selada, mentimun, dan kerupuk sebagai pelengkap. Eh, bukan. Ini sih langkah terakhir masak nasi goreng spesial. Hehe.

Ya, pokoknya dari beberapa komitmen yang sudah saya setujui dengan dirinya, tiga pertama tersebut adalah yang utama.

***

Matahari di luar sana semakin meredupkan sinarnya. Setelah kami membicarakan hal-hal mengenai hubungan kami, kami merasa harus pergi dari kedai piza karena memang sudah terlalu lama di sana. Selain itu, kami juga sudah tidak ingin melihat pegawainya yang sudah jutek dengan kami karena kami membawa minuman dari luar.

Kami memutuskan untuk pergi ke kampus utama lalu mencari spot nyaman untuk melanjutkan obrolan. Suasana kampus terlihat cukup sepi karena sudah sore dan memang sebagian besar para mahasiswanya sudah menjalani liburan semester. Sayangnya, ia belum libur karena masih ada satu tugas UAS yang harus diselesaikan. Kalau saya sih sudah lulus, jadi sudah tidak merasakan kegiatan perkuliahan S-1 lagi. Hehehe.

Kami mengobrol sampai magrib menjelang. Saya suka mengobrol dengannya. Berdialektika mengenai hal-hal yang kami anggap seru untuk dibahas, baik itu hal serius atau bercanda.

Setelah melaksanakan salat magrib di kampus utama, kami merasa bahwa sudah waktunya untuk pulang. Ia mengantar saya dengan motornya sampai stasiun kereta. Kebetulan, rumahnya juga di dekat daerah stasiun, jadi ia tidak harus menempuh jarak yang jauh untuk pulang setelah mengantar saya.

Pertemuan kami pun berakhir di parkiran stasiun. Saya melambaikan tangan kepadanya sebagai tanda perpisahan ketika ia mulai menyalakan mesin motornya dan lama-lama menghilang dari pandangan saya akibat keramaian orang-orang yang masuk dan keluar area stasiun kereta. Dan, pada hari itu, 11 Januari 2018, kami resmi berkomitmen untuk menjadi sepasang kekasih.

***

Jika kamu membaca cerita ini, ini memang cerita tentangmu. Iya, tentangmu, Hessa Gita Afrilla. Terima kasih telah mengisi hari-hariku dengan obrolan kita yang begitu seru sejak kita saling mengenal dan akhirnya dekat. Terima kasih juga telah mengenalkanku dengan minuman matcha yang juga adalah minuman favoritmu itu. Ini memang baru awal hubungan kita. Tapi, saya berharap bahwa ini adalah awal yang baik untuk menjalani hari-hari selanjutnya yang lebih menyenangkan.

Post a Comment

2 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.