Obrolan Sore Hari


Di suatu Minggu sore yang cerah. Seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun sedang duduk bersama ayahnya di teras rumah. Ya, kebiasaan mereka setiap hari Minggu ketika sang ayah sedang tidak bekerja. Dengan ditemani segelas kopi hitam panas untuk si ayah dan segelas jus jeruk dingin untuk si anak, mereka duduk santai menikmati cuaca sejuk sore itu.

“Yah?”suara si anak memecah keheningan.

“Iya, Nak. Ada apa?” si ayah meletakkan secangkir kopi yang baru saja ia minum sedikit ke atas meja yang ada di depannya, kemudian menatap anaknya dengan wajah penasaran.

“Apakah setiap kebahagiaan yang kita rasakan di dunia ini bersifat abadi?” si anak bertanya dengan wajah polos, kemudian ia meminum jus jeruk yang mulai mengeluarkan embun di permukaan luar gelas. Ah, segarnya.

Si ayah terkejut dengan pertanyaan anaknya. Mengapa tiba-tiba anakku bertanya seperti itu? kata si ayah dalam hati.

“Kebahagiaan yang terjadi di dunia ini hanya bersifat sementara, Nak, karena kita hidup di dua waktu; di dunia dan akhirat. Dan di akhirat-lah, kita akan bisa menikmati kebahagiaan yang abadi,” jawabnya singkat. Ia tidak mau menjawab terlalu banyak, takut anaknya menjadi bingung.

“Jadi, kebahagiaan yang selama ini aku rasakan bersama Ayah hanya bersifat sementara? Seperti ini, kita duduk bersama dan aku pun merasa bahagia. Bahagia karena hanya di hari Minggu saja Ayah bisa mengobrol denganku. Di hari biasa, kan, Ayah sibuk bekerja,” kata si anak sambil memainkan sedotan yang ada di gelas jus jeruknya. Nampaknya ia sangat suka melakukan hal itu.

“Iya, Nak. Ayah juga merasa bahagia ketika bisa menghabiskan waktu denganmu. Ayah merasa kalau kebahagiaan saat Ayah bisa bersama denganmu adalah kebahagiaan yang sementara, tapi akan terasa abadi. Akan teringat selalu, karena hanya engkau-lah ‘harta’ Ayah satu-satunya yang paling berharga. Ayah sangat menyayangimu.”

“Aku juga sayang Ayah. Berarti kalau begitu, sekarang Ibu sudah merasakan kebahagiaan yang abadi juga ya, Yah? Ayah, kan, pernah berkata kalau semenjak aku lahir, Ibu sudah pergi ke tempat yang tidak akan pernah bisa dilihat oleh kita yang masih hidup.”

Si ayah merasakan tiba-tiba air matanya ingin keluar. Entah mengapa setiap ada seseorang yang membicarakan tentang istrinya, ia jadi merasa begitu rindu. Namun, kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil menahan air matanya untuk keluar, ia tidak ingin si anak melihatnya menangis.

“Iya, Nak. Oleh karena itu, selagi kita masih hidup di dunia, kita harus mendoakan Ibu supaya bahagia di alam sana, ya. Ibu pasti juga bahagia melihat anaknya sudah tumbuh besar dan cerdas sepertimu,” Ayah tersenyum setelah berkata seperti itu. Kemudian ia menghabiskan kopi yang dari tadi dipegangnya karena sudah hampir dingin.

Si anak pun juga menghabiskan jus jeruk miliknya. Cuaca sejuk sore itu memang dirasa cocok untuk berkumpul bersama keluarga. Walaupun, ia merasa kalau keluarga yang ia miliki di rumah hanya tinggal si ayah saja. Itu juga kalau si ayah berada di rumah. Selama enam hari penuh -- Senin sampai Sabtu -- si ayah sibuk bekerja sebagai pengusaha di luar kota dan hanya pulang ketika Sabtu malam. Di rumah, ia hanya ditemani oleh pembantu, seorang wanita yang umurnya sudah 50 tahun. Meskipun begitu, si anak sudah cukup merasakan sentuhan hangat dari Bi Inah, begitu ia memanggilnya, karena Bi Inah memang sosok seorang wanita yang penyayang. Ayahnya ternyata tidak salah pilih pembantu.

“Yah?” si anak bertanya lagi.

“Iya, kamu mau bertanya apa lagi?”

“Setiap aku merasakan kesendirian, terkadang aku suka berpikir, mengapa kita harus hidup di dunia kalau tujuan kita itu adalah akhirat. Guru agamaku di sekolah juga pernah mengatakan kalau setiap manusia akan merasakan kebahagiaan yang abadi ketika kita hidup di Surga. Namun, aku terkadang merasa iri dengan seseorang yang baru saja dilahirkan ke dunia ini, kemudian ia meninggal. Seperti yang dialami oleh adik temanku di sekolah, Yah. Temanku pernah bercerita kalau beberapa bulan yang lalu, ibunya melahirkan seorang anak lagi. Tapi ternyata, adik temanku itu hanya hidup beberapa menit ketika dilahirkan ke dunia ini, kemudian langsung meninggal. Aku merasa si adik temanku itu merasa beruntung karena ia tidak perlu hidup di dunia yang penuh dengan cobaan ini. Itu berarti juga ia langsung hidup di Surga, kan? Merasakan kebahagiaan yang abadi. Tak perlu merasakan kesedihan karena kehilangan seseorang yang pernah hidup bersamanya di dunia. Seperti aku yang tak pernah bisa melihat sosok ibu secara langsung.”

Ayah langsung terkejut dengan pernyataan yang diucapkan oleh si anak. Jarang sekali ia mendapati anaknya berkata seperti itu. Akan tetapi, ia tetap berpikir positif. Ia berpikir kalau anaknya memang sudah mulai dewasa, pasti apa yang diucapkannya itu adalah hasil dari pemikirannya sendiri. Hasil dari belajar di sekolahnya mungkin. Ia pun langsung menjawab,

“Iya, Nak, apa yang kamu katakan memang tidak salah. Namun, Tuhan sudah menggariskan kita untuk hidup di dunia ini, sesuatu yang sudah ditentukan oleh Tuhan adalah takdir. Takdir ada yang bisa diubah, ada juga yang tidak. Misalnya saja seperti kematian. Kita tidak akan pernah tahu kapan itu terjadi dan tidak akan ada satu manusia pun yang bisa mengubahnya.

“Yang penting, kita harus bersyukur karena kita diberikan kesempatan untuk hidup dan merasakan indahnya dunia. Oleh karena itu, selagi kita masih hidup, sebisa mungkin kita harus bisa berbuat baik kepada orang-orang yang ada di sekitar kita. Karena kalau kita selalu berbuat baik, Tuhan pun akan membalas segala perbuatan baik itu dengan Surga. Tempat di mana kebahagiaan yang abadi itu berada. Jadi, jangan pernah merasa menyesal karena kita hidup di dunia ya, Nak.”

Si anak diam sebentar, mencoba memahami kata demi kata apa yang telah diucapkan oleh ayahnya. Raut wajahnya kemudian menjadi bersinar, sebuah senyum terbentuk di bibirnya.

“Makasih ya, Yah, karena sudah memberiku pelajaran baru sore ini. Walaupun aku belum tahu seperti apa Surga itu, rasanya aku ingin cepat-cepat ke sana. Surga, yang kata Ayah dan guru agamaku bilang adalah tempat kebahagiaan abadi. 

“Aku jadi sadar kalau hidup di dunia bukanlah suatu masalah selagi kita bisa memaknainya dengan sesuatu yang positif. Setidaknya, Ibu akan merasa bangga di ‘sana’ karena ia tidak sia-sia melahirkan aku ke dunia ini. Aku akan membuat Ibu dan Ayah bangga kepadaku. Ngomong-ngomong, jus jeruk yang dibuat ayah tidak kalah enaknya dengan buatan Bi Inah, lho. Ayah memang hebat! Hehehe.”

Si ayah langsung menatap bahagia ke wajah anaknya. Tak disangka, obrolan sore ini begitu bermakna baginya. Obrolan yang hanya bisa dilakukan seminggu sekali. Kemudian, ia langsung berdiri dari kursinya, menghampiri sang anak lalu memeluknya dan berbisik,

“Nak, kita juga akan pergi ke Surga suatu saat nanti. Percayalah!”

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.