Ilustrasi makanan bergizi gratis.
(Sumber gambar: freepik.com)
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan sebagai inisiatif ambisius pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia melalui pemenuhan gizi anak sekolah. Dengan anggaran mencapai Rp 71 triliun, program ini diharapkan menurunkan angka stunting, meningkatkan kemampuan belajar siswa, dan menjadi simbol kepedulian negara terhadap generasi muda. Namun, sejak pelaksanaannya pada awal 2025, MBG justru menimbulkan masalah serius berupa gelombang keracunan massal yang telah menjangkiti ribuan anak di berbagai daerah. Berdasarkan data Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPI), hingga September 2025, tercatat 8.649 anak menjadi korban keracunan akibat makanan dari program ini [1]. Kejadian ini bukan hanya insiden sporadis, melainkan indikasi kegagalan struktural yang mendesak untuk diatasi segera oleh pemerintah agar tidak semakin merugikan masyarakat.
Salah satu masalah utama yang harus segera diatasi adalah kurangnya pengawasan ketat terhadap standar sanitasi dan kualitas bahan pangan. Pola keracunan berulang di berbagai provinsi, seperti di Kabupaten Bandung Barat di mana ratusan siswa harus dirawat, menunjukkan adanya kelalaian dalam pengadaan makanan, distribusi, dan sertifikasi [2]. Penyebab utama adalah kontaminasi bakteri seperti Salmonella, E. coli, Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, hingga jamur Candida tropicalis, yang sering kali disebabkan oleh penyimpanan buruk atau bahan basi [3]. Data menunjukkan bahwa hanya 34 dari 8.583 Sentra Pangan Program Gizi (SPPG) yang memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS), artinya hampir 99% dapur beroperasi tanpa standar kebersihan yang memadai [4]. Hal ini memperburuk situasi, di mana pelanggaran SOP terjadi pada 80% kasus keracunan. Pemerintah harus segera melakukan audit independen terhadap seluruh SPPG, menutup sementara dapur bermasalah, dan mewajibkan SLHS sebagai syarat mutlak operasional, seperti yang telah diinstruksikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan [5].
Selain itu, masalah struktural dalam manajemen program menjadi akar persoalan yang tak bisa diabaikan. MBG, sebagai program unggulan pemerintahan Prabowo-Gibran, dijalankan tanpa kesiapan infrastruktur pengawasan yang matang, sehingga menimbulkan praktik calo yang menurunkan kualitas makanan dan memperlambat penyerapan anggaran [6]. Negara sebagai perancang, pengendali, dan penanggung jawab program gagal menjalankan kewajiban konstitusionalnya, seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 yang menjamin hak warga atas kesehatan dan pendidikan, serta Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi Indonesia. Ketika makanan yang seharusnya bergizi justru menyebabkan penyakit, ini merupakan kelalaian yang dapat dituntut secara hukum melalui Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang mewajibkan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum [7]. Pemerintah perlu segera membuka data secara transparan, seperti dasbor publik untuk melacak vendor dan kasus keracunan, guna menghindari resistensi politik dan membangun kepercayaan masyarakat.
Selain masalah fisik, dampak ini juga bersifat psikososial dan ekonomi. Ribuan anak mengalami diare parah, muntah, hingga rawat inap, yang mengganggu proses belajar dan menimbulkan trauma bagi orang tua. Beberapa keluarga bahkan tidak memiliki akses BPJS atau asuransi, memperburuk beban medis [8]. Secara luas, ini mengikis kepercayaan publik terhadap program pemerintah, di mana desakan untuk penghentian sementara semakin kuat dari lembaga seperti Indef dan JPPI [9]. Presiden Prabowo sendiri mengakui kekurangan program dan memerintahkan instalasi CCTV di dapur, pelibatan koki ahli, serta investigasi oleh Polri dan BIN [10]. Namun, tanpa tindakan cepat seperti moratorium pada dapur tak bersertifikat atau evaluasi total, risiko berulang akan terus mengancam.
Untuk mengatasi ini, pemerintah harus segera mengimplementasikan langkah korektif yang komprehensif. Pertama, hentikan sementara operasi SPPG bermasalah dan lakukan rapat koordinasi nasional dengan kepala daerah, seperti yang direncanakan Menteri Dalam Negeri [11]. Kedua, libatkan ahli independen untuk evaluasi, termasuk alternatif seperti voucher gizi rumah tangga guna menghindari risiko distribusi massal. Ketiga, tegakkan hukum secara adil, termasuk penahanan pelaku jika ditemukan unsur pidana, sebagaimana diusut oleh Badan Gizi Nasional (BGN) bersama polisi [12]. Akhirnya, tingkatkan transparansi dengan membuka akses data kontrak dan hasil laboratorium untuk mencegah sabotase atau korupsi.
Pada akhirnya, MBG yang dimaksudkan sebagai investasi generasi justru menjadi cermin rapuhnya tata kelola kebijakan publik. Jika pemerintah tidak segera mengatasi masalah pengawasan, akuntabilitas, dan perlindungan hak anak, bukan hanya kesehatan generasi muda yang terancam, tapi juga legitimasi negara. Gelombang keracunan ini harus menjadi momentum reformasi, di mana akuntabilitas tinggi menjadi standar setiap program publik, demi mewujudkan Indonesia yang lebih sehat dan adil.
_________________
Sumber:

