'Untuk Negeriku', sebuah Otobiografi Bung Hatta

Rasa penasaran saya kepada salah satu sosok tokoh pendiri bangsa, Mohammad Hatta (selanjutnya Bung Hatta), sudah muncul sejak 2020. Saat itu ketika wabah Covid-19 menyerang dan saya memiliki cukup waktu luang untuk membaca (setelah selesai bekerja dari rumah), saya memutuskan untuk membeli buku yang ditulis Bung Hatta yang berjudul Demokrasi Kita: Pikiran-pikiran Tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat. Buku tersebut, secara singkat, menjelaskan tentang bagaimana seharusnya pemerintahan dilaksanakan. Ia menjelaskan bahwa Indonesia seharusnya tidak hanya melaksanakan demokrasi politik, melainkan juga demokrasi ekonomi. Demokrasi politik adalah rakyat yang memegang kendali penuh atas jalannya pemerintahan dengan mengutus perwakilannya. Sedangkan, demokrasi ekonomi maksudnya adalah masyarakat bisa mencukupi kebutuhannya dengan kegiatan ekonomi dari rakyat untuk rakyat, bukan dari para kapitalis kepada para buruh.

Kemudian, pada Desember 2020, saya membaca novel yang menceritakan tentang Bung Hatta berjudul Hatta: Aku Datang Karena Sejarah. Novel tersebut ditulis oleh Sergius Sutanto dan menceritakan tentang perjalanan Bung Hatta dari ia masih kecil sampai ia selesai menjabat sebagai Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia. Saya baru menayangkan ulasannya di blog pada Agustus tahun ini dan merasa cerita dari novelnya masih cukup kurang untuk membuat saya mengetahui tentang sosok Bung Hatta.

Pada Desember 2022, saya memutuskan untuk membaca Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman via iPusnasBuku tersebut cukup menambah informasi baru tentang sosok Bung Hatta. Setelah itu, karena rasa penasaran saya semakin muncul, saya pun membeli buku otobiografi Bung Hatta secara daring. Buku tersebut baru sempat saya baca pada Maret sampai Mei 2023.

***


Buku otobiografi Bung Hatta yang berjudul Untuk Negeriku dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi; kedua, Berjuang dan Dibuang; dan ketiga, Menuju Gerbang Kemerdekaan. Masing-masing judul mengisahkan fase hidup Bung Hatta dari masa kecil sampai ia menjadi Wakil Presiden Pertama Indonesia dan berurusan dengan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia setelah Indonesia meproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Bukittinggi - Rotterdam Lewat Betawi


Di bagian pertama dari otobiografinya ini, Bung Hatta menceritakan latar belakang masa kecil dan keluarganya yang tinggal di Bukittinggi, Sumatera Barat. Di sana, ia adalah anak dari keluarga yang religius sehingga saudara dan orang tuanya mendukungnya untuk belajar Islam ke Mekkah. Namun, ketika beranjak dewasa dan mengetahui kondisi bangsanya yang dijajah, ia memutuskan pergi ke Belanda untuk berkuliah pada 1921. Dengan keuangan yang seadanya, ia menjalani kehidupannya sebagai mahasiswa sekaligus menjadi anggota pergerakan melawan kolonialisme. Beberapa negara di Eropa selain Belanda, seperti Belgia, Jerman, Swiss, Swedia, dan Hungaria pernah ia kunjungi untuk menghadiri rapat atau belajar tentang ilmu baru yang tidak ada di Hindia Belanda. Selain itu, diceritakan juga ketika ia ditahan oleh Pemerintah Belanda karena dianggap menghasut melakukan pemberontakan setelah ia dituduh terlibat dalam pergerakan antikolonialisme. Selama lima bulan lebih berada di penjara, ia pun dibebaskan setelah dibantu oleh tiga orang kuasa hukum dari Belanda. Kemudian, ketika masalah di sana sudah beres begitu juga studinya, ia pun pulang ke Indonesia untuk melanjutkan perjuangan pada 1932.

Membaca buku bagian pertama ini, membuat saya memahami betapa tekad Bung Hatta dalam berjuang membebaskan Indonesia dari kolonialisme Belanda begitu kuat. Dengan ilmu dan tulisannya, ia mengkritik dan mengungkapkan kegelisahan yang ada untuk disebarkan kepada khalayak ramai supaya masyarakat Indonesia sadar untuk bangkit dalam situasi yang ditindas.

Berjuang dan Dibuang


Di buku kedua ini, Bung Hatta mengisahkan hidupnya setelah ia kembali ke Indonesia pada 1932 setelah selama sebelas tahun menuntut ilmu di Eropa, khususnya Belanda. Ia mulai aktif menjadi aktivis di Pendidikan Nasional Indonesia (PNI). Ia pun berharap bahwa PNI merupakan organisasi yang memang bisa mencerdaskan para kadernya, bukan sekadar berkumpul dan mengikuti kata pemimpinnya tanpa ada sikap kritis.

Selain itu, dikisahkan juga tentang perdebatan antara Bung Hatta dengan Bung Karno. Mereka berbeda pemikiran dalam memaknai nonkooperatif terhadap Pemerintahan Belanda. Mereka saling membalas opini lewat esai di surat kabar. Meskipun begitu, mereka tidak saling mencaci maki dan membenci secara personal. Lantas, ketika Pemerintah Kolonial Belanda mulai gelisah terhadap pergerakan masyarakat yang menyebarkan paham-paham kemerdekaan, satu persatu tokoh yang berperan pun mulai ditangkap dan diasingkan, salah satunya adalah Bung Hatta.

Awalnya, Bung Hatta dimasukkan ke penjara di Glodok. Setelah itu, ia pun diasingkan ke Boven Digoel selama beberapa waktu, sebelum akhirnya dipindahkan ke Banda Neira. Selama di tempat pengasingan, Bung Hatta mulai menyusun rencana hidup baru dan sesekali menulis untuk surat kabar. Keadaan di Boven Digoel memang memprihatinkan, jauh dari keramaian dan lebih banyak hutan belantara. Namun, ketika ia berada di Banda Neira, ia merasa keadaan mulai cukup membaik.

Menuju Gerbang Kemerdekaan


Buku ketiga sekaligus terakhir dari otobiografi Bung Hatta. Di sini, ia bercerita ketika Jepang berhasil mengalahkan Belanda sehingga Belanda menyerahkan kekuasaannya di Indonesia kepada Jepang pada 1942. Para petinggi Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia jika rakyat Indonesia menuruti perintah Jepang untuk ikut membantu dalam perang. Bung Hatta yang dianggap sebagai tokoh pergerakan terpandang, ditunjuk sebagai penasihat para petinggi Jepang. Meskipun demikian, Bung Hatta tetap memegang prinsipnya bahwa ia tidak mau diperintah apalagi diminta untuk merayu rakyat Indonesia supaya tunduk kepada Jepang.

Tiga tahun kemudian, tepatnya pada pertengahan Agustus 1945, Jepang kalah oleh Sekutu. Kesempatan itu pun dimanfaatkan oleh para pendiri bangsa, termasuk Bung Hatta, untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Ia menceritakan pertentangan ketika kaum muda yang ingin mempercepat waktu proklamasi, sedangkan Sukarno menolak karena mereka menunggu waktu yang sudah ditentukan. Sukarno dan Hatta pun diculik ke Rengasdengklok. Setelah itu, ketika sudah dibebaskan, akhirnya Sukarno membaca teks proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Perjuangan kemerdekaan tidak hanya sampai di sana. Sebab, Belanda ingin menjajah kembali Indonesia dan tidak mengakui kemerdekaannya. Nah, di buku ini, saya jadi mengetahui momen-momen menegangkan ketika tentara Belanda kembali melalui sudut pandang Bung Hatta. Betapa ia yang sudah resmi memerintah, harus pandai mengatur strategi dan bernegosiasi kepada pihak Belanda supaya Indonesia harus diakui sebagai negara yang sah. Meskipun pada waktu itu, wilayahnya masih terbatas, bukan seperti sekarang.

***

Melihat kondisi Indonesia saat ini, saya terkadang menjadi pesimistis dengan para pejabat yang mengelolanya. Lantas, dengan mencari tahu sejarah Indonesia melalui perjalanan hidup Bung Hatta adalah usaha saya untuk memahami dan merenungi tentang maksud negara ini dibentuk. Betapa para pahlawan di masa itu telah berjuang merelakan waktu, tenaga, bahkan nyawa mereka untuk bisa memerdekakan Indonesia dari kekejaman para penjajah Belanda dan Jepang. Salah satunya adalah Bung Hatta. Ia merupakan tokoh pahlawan Indonesia yang sudah melakukan perjuangan sejak usia muda. Dengan privilesenya yang bisa mendapatkan pendidikan di Eropa, ia mulai menyebarkan paham-paham patriotik lewat tulisan sebagai usahanya dalam menyadarkan rakyat Indonesia untuk bangkit melawan ketertindasan.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.