Dua Hari Bersama Holden Caulfield


Malam itu saya baru pulang dari acara pesta Natal 2019 yang diadakan dari kantor tempat saya bekerja. Seketika, saya pun mengambil novel kecil dari dalam tas untuk menemani perjalanan pulang di KRL. Novel tersebut berjudul The Catcher in the Rye.

Itu adalah kedua kali saya membacanya. Entah mengapa, ketika itu saya membacanya pas seperti latar waktu yang dipilih di dalam novel, yaitu beberapa hari menjelang hari Natal. Dengan sampul novel berwarna oranye dan krem serta bergambar kuda-kudaan di komidi putar, ternyata isinya penuh dengan sesuatu yang mungkin membuat kita ikut kesal, tapi juga bisa tertawa dari celetukan-celetukannya.

***

Dari yang saya pahami secara bebas di awal pembukaan novel ini, Holden Caulfield, seorang remaja berumur tujuh belas tahun sekaligus narator di dalam cerita, sedang berada di sanatorium. Ia bercerita tentang petualangannya di dua hari menjelang hari Natal setahun sebelum ia dirawat.

Holden mulai bercerita bahwa ia dikeluarkan dari sekolahnya di Pencey Prep School dan berencana untuk mengunjungi guru pelajaran Sejarah-nya bernama Mr. Spencer sebagai salam perpisahan. Mr. Spencer mengungkapkan bahwa ia dikeluarkan karena banyak sekali pelajaran yang tidak memenuhi standar nilai, alias gagal. Di dalam percakapan mereka berdua, sebenarnya Holden sudah merasa jenuh dengan omongan dari gurunya itu, tapi ia tetap menanggapinya:

“Do you feel absolutely no concern for your future, boy?”
Oh, I feel some concern for my future, all right. Sure. Sure, I do.” I thought about it for a minute. "But not too much, I guess. Not too much, I guess."
"You will," old Spencer said. "You will, boy. You will when it's too late."
I didn't like hearing him say that. It made me sound dead or something. It was very depressing. "I guess I will," I said. 
"I'd like to put some sense in that head of yours, boy. I'm trying to help you. I'm trying to help you, if I can." (halaman 17-18)

Setelah ia mengunjungi gurunya, Holden kembali ke asramanya dan bertemu teman sekamarnya bernama Ward Stradlater. Stradlater meminta tolong kepadanya untuk menulis esai sebagai tugas Bahasa Inggris karena Stradlater saat itu akan pergi kencan dengan Jane Gallagher—yang ternyata teman lama Holden. Holden pun setuju dengan permintaan Stradlater, ia pun menulis tentang sarung tangan baseball milik adik laki-lakinya, Allie, yang sudah meninggal akibat leukemia. Sepulangnya dari kencan, Stradlater marah karena ternyata esai yang ditulis Holden salah. Di awal percakapan, Stradlater telah mengatakan bawah esainya harus mendeskripsikan tentang ruangan atau tempat tinggal. Selain itu, konflik terjadi setelah Holden memaksa Stradlater untuk menceritakan suasana kencannya bersama Jane Gallagher:

"Shut up, now, Holden," he said with his big stupid red face. "Just shut up, now."
"You don't even know if her first name is Jane or Jean, ya goddam moron!"
"Now, shut up, Holden, God damn it—I'm warning ya," he said—I really had him going. "If you don't shut up, I'm gonna slam ya one."
"Get your dirty stinking moron knees off my chest." 
"If I letcha up, will you keep your mouth shut?"
I didn't even answer him. (halaman 50)

Setelah pertengkaran itu, Holden pun memutuskan untuk keluar dari asrama dan pergi berkelana di kota New York, yang ternyata di luar rencananya. Sesampainya di kota, ia sadar bahwa ia tak bisa pulang ke tempat tinggalnya karena orang tuanya belum mengetahui bahwa ia telah dikeluarkan dari sekolah. Jadi, ia menyewa kamar di Edmont Hotel, di mana ia menyaksikan adegan yang tak terduga melalui jendela kamarnya:

…I looked out the window for a while, with my coat on and all. I didn't have anything else to do. You'd be surprised what was going on on the other side of the hotel. They didn't even bother to pull their shades down. I saw one guy, a gray-haired, very distinguished—looking guy with only his shorts on, do something you wouldn't believe me if I told you. First he put his suitcase on the bed. Then he took out all these women's clothes, and put them on. Real women's clothes—silk stockings, high-heeled shoes, brassiere, and one of those corsets with the straps hanging down and all. Then he put on this very tight black evening dress. I swear to God. Then he started walking up and down the room, taking these very small steps, the way a woman does, and smoking a cigarette and looking at himself in the mirror. (Halaman 69)

Karena merasa kesepian, Holden memutuskan untuk keluar kamar sehingga bisa berinteraksi dengan orang lain. Ia pun pergi ke klub malam di hotel tersebut dan berkenalan dengan beberapa wanita di sana. Merasa masih kurang, ia pergi ke luar hotel untuk mencari klub malam lain. Tapi, ia malah bertemu dengan seseorang yang kenal dengannya:

All of a sudden, this girl came up to me and said, "Holden Caulfield!" Her name was Lillian Simmons. My brother D.B. used to go around with her for a while. She had very big knockers.
"Hi," I said. I tried to get up, naturally, but it was some job getting up, in a place like that. She had some Navy officer with her that looked like he had a poker up his ass.
"How marvelous to see you!" old Lillian Simmons said. Strictly a phony. "How's your big brother?" 
That's all she really wanted to know.
"He's fine. He's in Hollywood."
"In Hollywood! How marvelous! What's he doing?"
"I don't know. Writing," I said. I didn't feel like discussing it. You could tell she thought it was a big deal his being in Hollywood. Almost everybody does. Mostly people who've never read any of his stories. It drives me crazy, though. (Halaman 96-97)

Setelah lelah “mencari angin” di luar hotel, ia kembali ke kamarnya. Namun, bukannya langsung tidur, ia malah menyewa PSK yang ternyata hanya untuk menjadi teman mengobrol, alasannya karena:

"Look," I said. "I don't feel very much like myself tonight. I've had a rough night. Honest to God. I'll pay you and all, but do you mind very much if we don't do it? Do you mind very much?" The trouble was, I just didn't want to do it. I felt more depressed than sexy, if you want to know the truth. (Halaman 107)

Pada pagi selanjutnya, Holden menelepon mantan pacarnya, Sally Hayes. Ia mengajaknya untuk bertemu dan menghabiskan waktu berdua. Namun, sayangnya pertemuan mereka diakhiri dengan cara yang tidak baik-baik karena ia berkata kasar ke Sally. Sally pun pergi meninggalkannya sendiri.

Dari pertemuan yang diakhiri tak menyenangkan itu, Holden menelepon salah satu teman lamanya untuk bertemu di bar. Ia bernama Carl Luce dan Holden merasa bahwa ia adalah tipe orang ber-IQ tinggi. Tapi, lagi-lagi, Holden membuat suasana percakapan jadi menyebalkan sehingga Luce menyarankannya untuk berkonsultasi ke ayah Luce yang berprofesi sebagai ahli jiwa karena sikapnya yang dirasa tidak dewasa:

"Supposing I went to your father and had him psychoanalyze me and all," I said. "What would he do to me? I mean what would he do to me?"
"He wouldn't do a goddam thing to you. He'd simply talk to you, and you'd talk to him, for God's sake. For one thing, he'd help you to recognize the patterns of your mind."
"That what?"
"The patterns of your mind. Your mind runs in—Listen. I'm not giving an elementary course in psychoanalysis. If you're interested, call him up and make an appointment. If you're not, don't. I couldn't care less, frankly." (Halaman 164)

Setelah pertemuan itu, Holden berkeliling Central Park sampai ia merasa tak tahan lagi dengan cuaca dingin yang melanda. Dengan keadaan yang memprihatinkan, perasaannya mendorong untuk memutuskan pulang ke apartemen orang tuanya. Ia masuk ke dalam apartemen dengan mengendap-endap supaya bisa bertemu dengan adik perempuannya yang sedang tidur, Phoebe. Kebetulan, kedua orang tuanya sedang pergi keluar. Setelah ia membangunkan Phoebe dan bercerita tentang apa yang terjadi, Phoebe marah dan kesal karena Holden telah dikeluarkan dari sekolah dan berpikir bahwa Holden tidak memiliki tujuan hidup yang jelas. Meskipun begitu, Holden menjelaskan:

…"You know what I'd like to be?" I said. "You know what I'd like to be? I mean if I had my goddam choice?"
"What? Stop swearing."
"You know that song 'If a body catch a body comin’ through the rye'? I'd like—"
"It's 'If a body meet a body coming through the rye!' old Phoebe said. "It's a poem. By Robert Burns." 
"I know it's a poem by Robert Burns." She was right, though. It is "If a body meet a body coming through the rye." I didn't know it then, though. "I thought it was 'If a body catch a body,’" I said. "Anyway, I keep picturing all these little kids playing some game in this big field of rye and all. Thousands of little kids, and nobody's around—nobody big, I mean—except me. And I'm standing on the edge of some crazy cliff. What I have to do, I have to catch everybody if they start to go over the cliff —I mean if they're running and they don't look where they're going I have to come out from somewhere and catch them. That's all I'd do all day. I'd just be the catcher in the rye and all. I know it's crazy, but that's the only thing I'd really like to be. I know it's crazy." (Halaman 191)

Tak lama setelah obrolan bersama adiknya, tiba-tiba kedua orang tuanya pulang ketika waktu sudah dini hari. Holden segera izin kepada Phoebe untuk pergi meninggalkan apartemen dengan diam-diam. Karena merasa tidak ada tempat tinggal, ia memutuskan untuk menghubungi Mr. Antolini, guru Bahasa Inggris di sekolah lamanya. Mr. Antolini mengizinkannya untuk menginap di rumahnya. Di sofa ruang tamu Mr. Antolini, ia tidur. Namun, tiba-tiba ada kejadian yang membuat Holden jijik kepada tuan rumah. Karena peristiwa itu, Holden beralasan untuk mengambil tas yang ditinggalkannya di stasiun, kemudian pergi dari rumah Mr. Antolini.

Holden menghabiskan sisa tidurnya di stasiun. Ketika bangun, ia memutuskan pergi ke sekolah Phoebe untuk mengantarkan pesan kepada salah satu gurunya supaya Phoebe menemuinya di museum ketika waktu makan siang. Tanpa disadari ketika Phoebe tiba, ia berkata kepada Holden bahwa ia ingin ikut kabur bersamanya. Holden kaget dan berdebat supaya Phoebe jangan mengikuti dirinya. Karena tetap memaksa, Holden pun mengalah dan mengatakan bahwa ia membatalkan niatnya untuk kabur dari rumah. Untuk mencairkan suasana, ia mengajak Phoebe pergi ke kebun binatang. Di sana, Phoebe menaikki kuda-kudaan di komidi putar. Melihat momen Phoebe kembali ceria, Holden, di bawah guyuran hujan yang semakin deras, berpikir:

…I felt so damn happy all of a sudden, the way old Phoebe kept going around and around. I was damn near bawling, I felt so damn happy, if you want to know the truth. I don't know why. It was just that she looked so damn nice, the way she kept going around and around, in her blue coat and all. God, I wish you could've been there. (Halaman 233-234)

***

Itulah sedikit sinopsis tentang novel The Catcher in the Rye karya J.D. Salinger. Membaca novel tersebut, saya bisa merasakan suasana batin dan pikiran dari Holden Caulfield. Di sepanjang cerita, ia memang suka mengeluh sambil mengumpat dan menganggap bahwa orang-orang di sekitarnya palsu (phony). Selain itu, ia juga sering merasa depresi terhadap hal-hal yang sebenarnya sederhana dan tak perlu terlalu dipikirkan. Oleh karena itu, saya berpikir novel ini memang tidak dianjurkan untuk dibaca ketika kita sedang banyak pikiran dan butuh bacaan hiburan. Novel ini bisa dijadikan sebagai referensi bahwa emosi manusia memang terkadang susah untuk dikendalikan. Dengan begitu, ketika pikiran kita penat dan jenuh, diharapkan bisa menemukan kebahagian sesuai yang kita inginkan. Seperti Holden yang akhirnya bisa merasa bahagia ketika pergi bersama adiknya, Phoebe, di tengah suasana pikirannya yang kacau.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.