Ilustrasi para sosialita sedang berkumpul.
(Sumber gambar: freepik.com)
Di tengah gemerlap lampu neon dan dentuman musik yang memekakkan telinga, Vina berdiri di sudut ruangan, memegang gelas minumannya erat-erat. Ia merasa seperti ikan yang terdampar di daratan, tidak pada tempatnya di antara para tamu yang berpakaian mewah dan berbicara dengan nada yang terlalu keras. Matanya mencari-cari sosok yang familiar, sosok yang membuatnya merasa aman di tengah keasingan ini.
Pesta di vila mewah di tepi pantai Bali ini adalah acara tahunan yang paling ditunggu-tunggu oleh para sosialita. Mobil-mobil sport berjejer di halaman, berkilau di bawah sinar bulan, sementara para tamu berlomba-lomba memamerkan busana desainer terbaru mereka. Vina mengenakan gaun sederhana berwarna biru tua, pilihan yang tampak polos di antara lautan kain berkilau dan aksesoris berlian. Ia merasa tatapan orang-orang sesekali meliriknya, seolah bertanya-tanya siapa dia dan apa yang ia lakukan di sini.
Tangan hangat menyentuh pundaknya. Vina menoleh dan tersenyum lega melihat Tio, pasangannya, yang baru saja kembali dari percakapan dengan sekelompok pria berjas. Tio mengenakan kemeja putih yang sedikit kusut, kontras dengan penampilan rapi tamu lainnya. Ia tersenyum, tapi garis-garis kecil di sudut matanya mengkhianati ketegangan yang disembunyikannya.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya, suaranya hampir tenggelam oleh dentuman bass.
Vina mengangguk, meskipun jari-jarinya semakin erat mencengkeram gelas. "Aku... aku cuma merasa sedikit out of place," jawabnya, suaranya pelan, hampir seperti bisikan.
Tio merangkulnya, lengan kuatnya melingkari pinggang Vina. "Aku juga. Tapi kita di sini bersama, itu yang penting."
Mereka berdua tahu bahwa kehadiran mereka di pesta ini bukanlah pilihan sepenuh hati. Tio, seorang fotografer yang sedang naik daun, mendapat undangan yang ia gunakan sebagai kesempatan untuk menjalin koneksi dengan orang-orang berpengaruh. Vina, seorang penulis lepas, datang untuk mendukungnya. Namun, semakin lama mereka berada di sini, semakin jelas bahwa dunia ini—dengan percakapan dangkal dan senyum yang dipaksakan—bukanlah tempat mereka.
Seorang wanita dengan gaun merah menyala mendekati mereka, tumitnya berdenting di lantai marmer. Senyumnya lebar, tapi matanya dingin, penuh penilaian. "Tio, darling! Sudah lama nggak ketemu!" serunya, mencium pipi Tio dengan gerakan yang terlalu teatrikal. Tatapannya beralih ke Vina. "Dan ini pasti... pacarmu?"
"Ya, ini Vina," jawab Tio, tangannya tetap di pinggang Vina, seolah menegaskan keberadaannya.
"Senang bertemu denganmu," kata Vina, mencoba tersenyum meskipun bibirnya terasa kaku.
Wanita itu, yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Tania, seorang sosialita terkenal, segera melibatkan Tio dalam percakapan tentang proyek fotografi terbarunya. Vina berdiri di samping, mendengarkan dengan setengah hati. Kata-kata seperti "eksklusif," "trendi," dan "influencer" beterbangan di udara, tapi tidak ada yang benar-benar menyentuhnya. Ia memandang ke arah kerumunan, melihat gelas-gelas sampanye di tangan para tamu dan tawa yang terdengar seperti rekaman.
Tiba-tiba, Tania menoleh padanya. "Vina, profesi kamu apa? Apa di industri kreatif juga?"
Vina menarik napas, merasa tatapan mata Tania seperti lampu sorot di atas panggung. "Aku... aku penulis," jawabnya, suaranya sedikit tersendat.
"Oh, menarik! Kamu nulis apa? Novel? Artikel majalah?" tanya Tania, alisnya terangkat, tapi nada suaranya terdengar lebih seperti ujian daripada ketertarikan.
"Um... lebih ke cerita pendek dan esai," kata Vina, jari-jarinya mulai memainkan tepi gelas.
Tania mengangguk, tapi tatapannya sudah beralih ke arah lain, seolah Vina hanyalah gangguan sementara. "Bagus, bagus. Nah, Tio, ada seseorang yang harus kamu temui. Dia produser film besar, dan aku yakin dia tertarik dengan karyamu."
Sebelum Vina bisa berkata apa-apa, Tania sudah menarik Tio pergi, tangannya mencengkeram lengan Tio seperti burung elang menangkap mangsa. Vina ditinggalkan sendirian, berdiri di sudut dengan gelas yang kini terasa terlalu berat di tangannya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan degup jantungnya yang semakin cepat. Di kejauhan, ia melihat Tio berbicara dengan Tania dan seorang pria bertubuh besar, gerak-geriknya kaku, tidak seperti Tio yang biasanya santai dan penuh tawa.
Beberapa menit kemudian, Tio berhasil melepaskan diri dan kembali ke sisinya. Wajahnya memerah, dan dia mengusap rambutnya dengan gerakan cepat. "Maaf, aku nggak bisa menolaknya," katanya, matanya penuh penyesalan.
"Nggak apa-apa," jawab Vina, meskipun suaranya bergetar. Dia menatap lantai, takut bertemu mata Tio. "Mungkin kita harus pergi dari sini."
Tio memandangnya lama, lalu mengangguk. "Aku setuju. Ayo cari tempat yang lebih tenang."
Mereka menyelinap keluar dari vila, meninggalkan keramaian dan gemerlap lampu di belakang. Udara malam Bali terasa sejuk di kulit mereka, aroma garam laut bercampur dengan embusan angin. Mereka berjalan menyusuri pantai, pasir halus menyelinap di atas sepatu mereka. Musik dari pesta masih terdengar samar, tapi di sini, dunia terasa lebih luas, lebih nyata.
"Kenapa kita merasa begitu nggak cocok di sana?" tanya Vina, suaranya lembut, hampir hilang di antara suara ombak.
Tio berhenti berjalan, menendang sebutir pasir kecil dengan ujung sepatunya. "Karena kita bukan bagian dari dunia itu," jawabnya, nadanya rendah. "Mereka semua berbicara tentang penampilan, status, dan koneksi. Kita... kita hanya ingin hidup sewajarnya, dengan pekerjaan yang kita cintai dan orang-orang yang kita sayangi."
Vina tersenyum kecil, merasa beban di dadanya sedikit berkurang. "Aku takut kita akan terseret ke dalamnya, lupa siapa kita sebenarnya."
Tio menoleh padanya, matanya penuh intensitas. "Itu nggak akan terjadi. Kita punya satu sama lain, dan itu lebih dari cukup."
Mereka duduk di tepi pantai, ombak kecil menyapu ujung sepatu mereka. Di kejauhan, lampu-lampu vila masih berkelap-kelip, tapi di sini, di bawah langit berbintang, mereka merasa damai. Tio meraih tangan Vina, jari-jarinya menyelinap di antara jari-jari Vina dengan lembut.
"Tadi di dalam," kata Tio, suaranya pelan, "aku sempat berpikir, apa aku harus mengikuti arus, berpura-pura menjadi seseorang yang bukan aku, demi karier."
Vina menahan napas, menatap wajah Tio yang diterangi cahaya bulan. "Lalu?"
"Dari sana aku sadar itu nggak sebanding," lanjut Tio, matanya berkilau. "Aku lebih memilih kehilangan kesempatan daripada kehilangan diriku sendiri... atau kamu."
Vina memeras tangan Tio, merasakan kehangatan yang mengalir dari sana. "Aku juga," bisiknya. "Kita mungkin nggak 'keren' seperti mereka, tapi kita punya sesuatu yang lebih berharga."
Tio tersenyum, giginya berkilau di bawah cahaya samar. "Kita punya keaslian."
Mereka duduk dalam diam, mendengarkan irama ombak yang stabil dan lembut. Di sini, jauh dari sorotan lampu dan sorak sorai, mereka merasa utuh—bukan bagian dari dunia yang mereka tinggalkan, tapi bagian dari sesuatu yang jauh lebih nyata.