Dilarang Mengutuk Hujan

Sampul Dilarang Mengutuk Hujan karya Iqbal Aji Daryono.
(Sumber gambar: goodreads.com)

Pernahkah kamu terdiam sejenak di tengah riuhnya hari, menatap hujan yang turun perlahan, dan bertanya: apa makna di balik tetesan-tetesan itu? Bayangkan sebuah pendulum yang berayun tenang, ritmis, tapi menyimpan misteri yang menggugah jiwa. Dalam buku Dilarang Mengutuk Hujan, Iqbal Aji Daryono mengajak kita menyelami kehidupan sehari-hari dengan mata yang baru—mata yang tak hanya melihat, melainkan juga merenung. Bukan sekadar esai, tulisan-tulisannya adalah cermin yang memantulkan realitas, membuat kita bertanya: apakah kita benar-benar hidup, atau hanya berjalan mengikuti arus tanpa pernah memahami maknanya? Di sinilah letak pesonanya: ia membawa kita begitu dekat pada kehidupan, sampai kita merasa terhubung, disentuh, dan terusik.

Iqbal memiliki cara unik untuk mengubah hal-hal sederhana menjadi refleksi yang mendalam. Pada esai "Kabar Kematian yang Biasa Saja", ia menyoroti bagaimana kabar duka yang berulang membuat kita kehilangan empati, menjadikan kematian sebagai rutinitas yang biasa. Ia menulis, “Ketika kita semakin sering mendengar kabar kematian, bisa jadi kita akan semakin abai,” sebuah peringatan yang relevan dengan kehidupan kita saat ini. Bukankah kita sering kali hanya mengucap kalimat template tanpa benar-benar merasakan duka yang ada?

Lalu, ada "Orangtua dan Ambisi", di mana ia mengkritik orangtua yang mendorong anak-anak mereka meraih kemenangan dengan cara apa pun, alih-alih mengajarkan untuk menghargai proses dan sportivitas. Ia menggambarkan fenomena ini dengan tajam: parade orangtua yang menyuruh anak-anak “menetek dan ngumpet di ketiak mereka.” Ini bukan hanya sindiran, melainkan juga pengingat untuk kita semua agar melihat kembali nilai-nilai yang kita wariskan kepada generasi mendatang.

Tak berhenti di situ, dalam "Takut Angka", Iqbal mengajak kita merenung tentang ketakutan irasional terhadap angka—usia yang bertambah atau hasil pemeriksaan kesehatan yang menjadi penentu nasib. Sementara di "Dari Mana Candu Bermula", ia membandingkan kehidupan sederhana suku Sasak dengan ketergantungan kita pada teknologi modern. Mereka hidup tanpa Wi-Fi dan media sosial, sementara kita merasa lumpuh tanpanya. Pertanyaannya pun muncul: apakah ini disebut kemajuan, atau justru perbudakan baru yang kita ciptakan sendiri?

Melalui gaya penulisan yang dialogis dan penuh analogi, Iqbal menciptakan kedekatan dengan pembaca. Membaca buku ini terasa seperti berbincang dengan seorang sahabat, yang tak hanya berbagi cerita, tapi juga mengajak kita berpikir kritis. Ia tak sekadar menulis; ia mengundang kita untuk melihat dunia dengan perspektif yang lebih jernih, mempertanyakan norma-norma, dan menemukan makna dalam hal-hal yang selama ini kita abaikan.

Jadi, ketika hujan turun berikutnya, cobalah untuk tidak mengutuknya. Ambil buku ini, baca, dan biarkan pendulum ritmis Iqbal Aji Daryono membawamu pada perjalanan batin yang tak terlupakan. Siapa tahu, di antara tetesan hujan itu, kamu menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tersimpan diam di hati.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.