Petir

Ilustrasi seorang remaja sedang bermain gitar.
(Sumber gambar: freepik.com)

Dani merasa dadanya sesak, seperti ada tali yang melilit jantungnya, menariknya semakin kencang setiap kali ia mencoba bernapas lega. Ia duduk di bangku kelas, tangannya mencengkeram pulpen yang sudah tak lagi menulis, hanya meninggalkan goresan-goresan acak di kertas ujian yang seharusnya ia isi. Di dalam kepalanya, ada melodi—nada-nada yang berputar liar, menolak untuk diam, menolak untuk dikurung oleh deretan angka dan rumus yang terpampang di papan tulis. Ia ingin lari, ingin melepaskan semua yang mengikatnya, tapi kakinya tetap terpaku di lantai kelas itu, di tengah tawa kecil teman-temannya yang seolah tahu ia tak akan pernah jadi apa-apa.

Dani adalah siswa SMA di pinggiran Jakarta, tempat di mana harapan sering kali tenggelam di bawah bayang-bayang ekspektasi. Ia bukan anak bodoh, tapi juga bukan bintang kelas. Nilainya cukup untuk lolos dari omelan guru, tapi tidak cukup untuk membuat ibunya tersenyum bangga. Namun, di balik matanya yang sering tertunduk, ada mimpi yang tak pernah padam: menjadi musisi, menulis lagu yang akan didengar ribuan orang, mungkin jutaan. Gitar tuanya, peninggalan dari pamannya, adalah satu-satunya teman yang mengerti. Setiap malam, saat lampu rumah padam, ia memetik senar-senar itu, membiarkan jari-jarinya berdansa di atas fret yang sudah aus.

Tapi di sekolah, ia hanyalah bayangan. "Dani, lu ngapain sih, nyanyi-nyanyi mulu? Mau jadi penyanyi dangdut?" celetuk Wawan, teman sekelasnya, diikuti tawa keras dari yang lain. Dani hanya menggenggam erat tali tasnya, bibirnya mengerucut, tapi matanya berkilat—ada sesuatu di sana, sesuatu yang mereka tak bisa lihat. Ia bukan anak yang mudah menutup telinga; ejekan itu menusuk, tapi ia memilih untuk menyimpannya, mengubahnya jadi bahan bakar tekadnya untuk membuktikan bahwa mereka salah telah menyepelekannya.

***

Suatu sore, pengumuman di pengeras suara sekolah menggema: ada kompetisi musik untuk siswa, dengan hadiah kesempatan tampil di panggung kota. Jantung Dani berdegup kencang. Ini dia, pikirnya, pintu yang selama ini ia cari. Ia harus ikut, harus menunjukkan bahwa ia lebih dari sekadar anak yang duduk di barisan belakang, lebih dari sekadar anak yang lambat mengerjakan soal Matematika.

Namun, jalan itu tidak mulus. Pak Hadi, guru Matematika-nya, menangkapnya sedang mencoret-coret lirik di buku catatan saat pelajaran. "Dani, berhenti mimpi yang aneh-aneh. Musik itu cuma hiburan, bukan untuk hidup," tegurnya dengan suara yang berat, seperti palu yang menghantam. Dani menunduk, tangannya mengepal di bawah meja, tapi di dalam dadanya, ada bara yang semakin membesar.

Di rumah, tekanan tak kalah berat. Ayahnya, yang menghabiskan hari-harinya di kantor dengan jas lusuh, menggeleng keras saat Dani memberanikan diri bicara soal kompetisi. "Kamu harus belajar, masuk jurusan hukum atau kedokteran. Musik itu buat orang yang nggak punya rencana," katanya, nadanya dingin seperti angin malam. Ibunya hanya memandang dengan mata lembut, tapi diamnya terasa seperti persetujuan pada kata-kata ayah. Dani menatap lantai, giginya menggigit bibir dalam, tapi jemarinya tetap bergerak di udara, seolah memetik senar yang tak ada.

Ia tidak menyerah. Setiap malam, saat rumah terlelap, ia menyelinap ke gudang kecil di belakang rumah, tempat gitarnya disembunyikan. Di sana, di bawah lampu temaram, ia menulis lagu berjudul "Petir." Liriknya mengalir deras, seperti air yang akhirnya menemukan celah di bendungan:

Aku petir di tengah malam,
Menanti detik untuk berteriak
Mereka berpaling, mereka tak mendengar,
Tapi aku akan bersuara, aku akan datang

Lagu itu adalah darah dan napasnya. Ia berlatih sampai jari-jarinya kapalan, sampai suaranya serak, sampai matanya berat karena kurang tidur. Ia tahu, ini bukan sekadar kompetisi—melainkan juga perang melawan semua yang meragukannya, termasuk dirinya sendiri.

***

Hari kompetisi datang. Dani berdiri di belakang panggung, keringat menetes dari dahinya, tangannya gemetar memegang gitar. Ia mengintip ke penonton: ada Wawan dan teman-temannya, duduk di barisan depan dengan senyum sinis; ada Pak Hadi, berdiri di samping dengan lengan disilangkan; dan di belakang, orang tuanya, yang datang meski dengan wajah penuh keraguan. Ia menarik napas, menutup mata sejenak, lalu melangkah ke panggung.

Lampu sorot membutakan, tapi ia mulai memetik gitar. Nada pertama keluar pelan, hampir patah, tapi suaranya perlahan menguat. Lagu yang ia ciptakan mengalir dari mulutnya, setiap kata dipenuhi getaran yang selama ini ia pendam. Ia tidak hanya menyanyi—ia berteriak, ia hidup. Penonton yang tadinya berbisik kini diam, mata mereka terpaku. Wawan berhenti menyeringai, tangannya terhenti di udara. Pak Hadi menurunkan lengannya, alisnya terangkat sedikit.

Saat refrain tiba, Dani memejamkan mata, membiarkan suaranya memenuhi ruangan. Ia merasa seperti petir yang akhirnya menyambar, keras dan tak terbendung. Lagu selesai, dan sesaat hanya ada hening—lalu tepuk tangan meledak, mengguncang dinding aula. Dani membuka mata, napasnya tersengal, tapi senyum kecil muncul di wajahnya. Ia melihat Wawan bertepuk tangan, wajahnya merah karena malu. Di belakang, ibunya menyeka air mata, dan ayahnya berdiri, bertepuk dengan kedua tangan di atas kepala.

Dani memenangkan kompetisi itu. Pialanya dingin di tangannya, tapi yang lebih hangat adalah pelukan ibunya setelah turun dari panggung. Ayahnya mendekat, suaranya pelan dan bergetar, "Ayah salah, Nak. Kamu hebat. Lanjutkan." Dani mengangguk, matanya basah, tapi dadanya terasa ringan untuk pertama kalinya.

Beberapa bulan kemudian, ia berdiri di panggung yang lebih besar, di acara musik kota. Ribuan pasang mata menatapnya, ribuan tangan bertepuk untuknya. Ia menyanyikan lagu ciptaannya lagi, dan di antara sorak sorai, ia tahu: ia telah menjadi petir, dan guntur telah tiba mengiringinya.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.