Memilih Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris

Sumber gambar: wallpapersafari.com

Sekitar lima tahun yang lalu, saya lulus SMA dan ingin melanjutkan ke perguruan tinggi. Setelah saya bertanya ke teman yang sudah masuk kuliah, saya jadi tahu bahwa ternyata memilih jurusan di kampus itu tidak boleh asal-pilih-yang-penting-diterima. Teman saya itu juga melanjutkan, 

“Jadi, kalau lu milih jurusan di kampus ya, Gung, harus yang sesuai dengan hati nurani lu dan memang yang lu suka banget. Supaya saat udah berlangsung kegiatan perkuliahan nanti, lu ngerasa nyaman ngejalaninnya dan nggak ngerasa bosan. Dan, lu juga harus berkomitmen sama diri lu sendiri agar selalu ngejalanin perkuliahan dengan sungguh-sungguh dan fokus. Nggak ada alasan buat malas-malasan atau nunda tugas dari dosen. Soalnya jadi mahasiswa tuh beda banget dan nggak kayak pas SMA yang kalau ngelakuin kesalahan atau kemalasan masih sering ditegur guru atau wali kelas. Pas udah jadi mahasiswa, segala sesuatunya harus diurus secara mandiri.”

Mendengar penjelasannya, saya langsung merasa waswas karena ternyata menjadi mahasiswa bukanlah hal yang mudah seperti yang sering ditayangkan oleh sinetron atau film remaja di televisi, yaitu hanya jalan-jalan di kampus atau mendekati mahasiswi cantik untuk dijadikan pacar. Melainkan, menjadi mahasiswa adalah bukti bahwa seseorang harus sudah bisa hidup secara mandiri, berpikir secara dewasa, dan bisa mempertanggungjawabkan segala hal yang dilakukannya. Lalu, saya pun berterima kasih kepada teman saya itu atas cerita pengalamannya selama beberapa tahun menjadi anak kuliahan. 

Setelah mondar-mandir mencari informasi tentang tempat kuliah dengan biaya dan letak yang terjangkau, pilihan saya jatuh ke UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya bisa menjadi mahasiswa di sana melalui ujian mandiri yang dilaksanakan awal Juli 2012.

Berbicara sedikit tentang UIN Jakarta, saat itu beberapa orang di daerah rumah saya─bahkan, salah satu guru saya di SMA─beranggapan bahwa kampus tersebut sering dijadikan tempat bagi kelompok Islam radikal menyebar ideologinya supaya mahasiswa-mahasiswa baru terhasut dan mengikuti ajaran mereka. Dan, setelah saya berkuliah di sana selama hampir empat setengah tahun, apa yang dikatakan orang-orang tersebut tentang UIN Jakarta tidaklah benar. Apalagi tentang penyebaran ideologi radikal, itu tergantung kepada si individunya saja apakah bisa bersikap kritis atau tidak untuk menangkal paham-paham tersebut. Sebab, saya merasa bahwa setiap kampus di seluruh Indonesia kemungkinan besar ada saja yang suka menyebar paham-paham yang bertentangan dengan Islam yang rahmatan lil alamin secara sembunyi-sembunyi. Jadi, ketika ada orang yang masih beranggapan bahwa UIN Jakarta adalah mutlak penghasil mahasiswa berpaham Islam radikal, saya berkesimpulan bahwa orang tersebut kurang mendapatkan informasi yang kredibel dan mudah percaya dengan berita hoaks. Bersyukur, selama saya berkuliah di sana, saya bisa bertemu dan berdiskusi dengan mahasiswa-mahasiswa kritis dan terbuka pikirannya, sehingga saya memiliki pengetahuan, sudut pandang, dan pengalaman baru  yang hanya bisa saya dapatkan ketika saya menjadi mahasiswa.

Kembali kepada pembahasan awal saya tentang memilih jurusan kuliah. Saat mendaftar kuliah secara daring, jurusan pertama yang saya pilih adalah Bahasa dan Sastra Inggris serta yang kedua adalah Sosiologi. Alasan saya memilih Bahasa dan Sastra Inggris adalah karena dari kelas enam SD sampai tiga SMA, pelajaran yang nilainya tinggi daripada yang lain adalah Bahasa Inggris. Walaupun, itu hanya sebatas teori karena dalam hal berbicara dalam bahasa Inggris, saya masih terus belajar untuk meningkatkan kemampuan tersebut sampai saat ini. Sedangkan, alasan memilih Sosiologi adalah karena ketika masih SMA, saya adalah siswa jurusan IPS, sehingga saya merasa hanya tinggal melanjutkan saja fokus ilmu yang sudah saya dapatkan itu. Dan, itulah dua jurusan yang sudah mantap saya pilih ketika itu dengan alasannya masing-masing.

Setelah informasi tentang seleksi mahasiswa diumumkan, ternyata saya diterima di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora. Saya pun bersyukur karena jurusan pertama saya yang diterima. Kehidupan saya pun berubah sejak saat itu. Maksudnya, karena saya resmi menjadi mahasiswa.

***

Itulah beberapa penggalan kisah saya tentang memilih jurusan di kampus. Di samping itu, yang ingin saya bahas kali ini adalah pengalaman saya selama kurang lebih empat setengah tahun menjadi Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Karena setelah saya masuk jurusan tersebut, saya merasa bahwa ilmu yang saya dapatkan dari SD sampai SMA tentang Bahasa Inggris hanya sekadar “kulit”-nya saja dan masih sebatas pengenalan. Sehingga ketika masuk kuliah, ternyata ilmu tentang Bahasa dan Sastra yang saya dapatkan jauh lebih dalam dan lebih luas.

Dari pengalaman saya, ada tiga fokus utama dalam Bahasa dan Sastra Inggris yang bisa dipilih saat itu, yaitu Translation (Penerjemahan), Linguistics (Ilmu Linguistik), dan Literature (Ilmu Sastra). Iya, karena pada masa angkatan saya, setelah semester lima perkuliahan ada pembagian kelas masing-masing kepada tiga fokus tersebut. Jadi, saya dan teman-teman yang sudah sekelas dari semester pertama sampai lima harus berpisah pada semester enam. Lebih lanjut, tiga fokus ilmu itulah yang ingin saya ceritakan kali ini.

1. Translation (Penerjemahan)

Untuk fokus ini, pada masa kuliah saya kurang mendalaminya, sehingga yang saya ceritakan adalah pengenalan-pengenalannya saja.

Bagi kamu yang suka membaca buku yang diterjemahkan dari bahasa asing ke bahasa Indonesia, ini adalah fokus ilmu yang salah satu di antaranya mempelajari tentang itu. Ketika kamu memilih Translation sebagai fokus ilmu, berarti kamu harus bisa memahami tata cara penerjemahan yang baik dan benar.

Pada Desember 2014 lalu, saya masih ingat salah satu dosen di kampus pernah memberikan perkuliahan di luar waktu resmi kepada saya dan beberapa teman di kelas untuk memahami tentang penerjemahan yang baik. Awalnya, saya mengira bahwa proses penerjemahan itu hanya mengartikan kata-kata dari bahasa asal (asing) ke dalam bahasa tujuan begitu saja tanpa memperhatikan faktor lain. Ternyata saya salah. Jadi, dosen saya itu menjelaskan dalam proses penerjemahan harus memperhatikan juga faktor-faktor lain, di antaranya adalah faktor sosio-kultural, istilah-istilah yang mudah dipahami, menguasai pemahaman dari kata yang mempunyai lebih dari satu makna yang terdapat di dalam bahasa tujuan, dan konteks yang sedang terjadi di dalam cerita, sehingga bahasa yang diterjemahkan pun tidak kaku dan aneh. Contoh kecilnya yang saya tahu adalah seperti pada kalimat dalam bahasa Inggris di bawah ini, 

“Don’t be a chicken! Just go up and ask her to dance.”

Jika kata tersebut diterjemahkan secara harfiah, arti dari chicken dalam bahasa Indonesia adalah hewan unggas bernama "ayam". Namun, arti tersebut bisa berbeda ketika diucapkan dalam konteks kepada seseorang yang merasa tidak berani dalam menghadapi sesuatu, sehingga arti dari chicken adalah penakut. Oleh karena itu, menjadi penerjemah salah satunya memang harus bisa memahami konteks dan maksud kata yang ingin dialihkan ke bahasa tujuan supaya hasil dari terjemahan yang dihasilkan bisa enak dimengerti.

2. Linguistics (Ilmu Linguistik)

Pengalaman pertama saya di matakuliah General Linguistics bisa dibilang kurang menyenangkan. Karena pada semester empat saat itu, dosen yang mengajar matakuliah tersebut cukup ngeselin. Ngeselin yang dimaksud adalah ia beranggapan bahwa mahasiswa yang diajarnya sudah benar-benar mengerti tentang teori-teori Linguistik, sehingga ia hanya mengajarkan kepada saya dan teman-teman di kelas seadanya tanpa penjelasan lebih lanjut. Untungnya, ketika semester lima, dosen yang mengajar Linguistics adalah dosen yang berbeda dari sebelumnya dan mengerti keadaan mahasiswanya yang masih butuh bimbingan dan pemahaman lebih lanjut dari ahlinya, sehingga sejak saat itu saya bisa mengerti sedikit demi sedikit tentang pembahasan yang berkaitan tentang ilmu bahasa.

Sepengalaman saya, di dalam Linguistics, kita akan mempelajari tentang pengertian bahasa, morfologi, sintaksis, semantik, fonologi, dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut membahas tentang bagaimana pengaruh dari susunan kalimat yang dibentuk, bagaimana memahami makna kalimat dalam konteks tertentu, bagaimana sistem suara dalam suatu kata diucapkan, dan masih banyak lagi. Khususnya dalam bahasa Inggris, kita akan menemukan pengetahuan-pengetahuan baru yang sebelumnya tidak akan pernah terpikirkan bahwa mempelajari ilmu bahasa ternyata cukup kompleks.

Beberapa buku rujukan yang bisa dibaca untuk memahami lebih lanjut tentang Linguistics adalah:

  1. An Introduction to Language ditulis oleh Victoria Fromkin dan Robert Rodman.
  2. Linguistics: An Introduction ditulis oleh Jean Aitchison.
  3. Pesona Bahasa: Langkah  Awal Memahami Linguistik disunting oleh Kushartanti, dkk.

3. Literature (Ilmu Sastra)

Fokus yang terakhir ini adalah fokus yang saya pilih untuk semester enam. Alasannya adalah dari pengalaman yang pernah saya rasakan dan melihat semua matakuliah yang ada di dalam setiap fokus ilmu Bahasa dan Sastra Inggris, matakuliah yang akan ada di dalam Ilmu Penerjemahan dan Ilmu Linguistik terasa lebih “kaku”, sedangkan matakuliah yang terdapat di fokus Ilmu Sastra lebih fleksibel. Maksud “fleksibel” di sini adalah dari pengalaman saya di semester empat sampai lima ketika mengerjakan esai atau tugas dalam ilmu sastra, selama saya bisa memberikan argumen, penjelasan, dan bukti yang jelas di dalam suatu karya sastra, itu semua bisa diterima dan dianggap sudah memahami karya sastra yang sedang dibahas. Selain itu, saya juga baru mengenal suatu buku bacaan─seperti novel dan kumpulan cerpen─berkategori sastra ketika masuk di fokus ilmu ini. Sebelumnya, saya samasekali tidak tahu tentang bagaimana buku itu bisa dibilang sastra dengan yang bukan.

Kebiasaan rajin membaca buku sastra juga terjadi ketika saya memilih fokus ilmu ini. Karena matakuliah yang berlangsung memang mengharuskan saya untuk sering membaca karya sastra─puisi, novel, cerpen, dan naskah drama─yang kemudian akan dibahas pada setiap pertemuan di kelas, saya pun memaksakan diri untuk terus membaca dan akhirnya jadi terbiasa. Selain itu, ternyata di dalam fokus ini banyak teori yang bisa digunakan untuk memahami suatu karya sastra, beberapa di antaranya adalah teori poskolonialisme, psikoanalisis, strukturalisme, feminisme, dan lain-lain.

Di dalam Ilmu Sastra, saya juga jadi bisa memahami tentang kondisi sosial atau kejiwaan yang terjadi di dalam kisah. Contohnya saja seperti novel The Reluctant Fundamentalist karya Mohsin Hamid yang pernah menjadi bahan pembahasan pada matakuliah Multicultural Novels di semester tujuh. Di dalam kisahnya, si tokoh utama yang berasal dari Pakistan memutuskan untuk berkuliah di Amerika Serikat, sehingga lama-kelamaan budaya dan cara berpikirnya pun mulai berubah menjadi ala “Barat”. Ditambah lagi, latar waktu yang diceritakan adalah pada 2001 ketika serangan WTC oleh teroris yang menabrakan pesawat terbang ke gedung-gedung yang ada di sana. Akibat kejadian tersebut, masyarakat Amerika akhirnya memandang orang Timur Tengah yang tinggal di sana sebagai teroris. Si tokoh utama pun mengalami tekanan karena stigma negatif tersebut. Oleh karena itu, dari novel tersebut, saya bisa memakai teori poskolonialisme atau psikoanalisis yang bisa diteliti sebagai tugas esai pada akhir pertemuan.

Pengalaman lain yang saya dapatkan dari Ilmu Sastra, ketika itu ada matakuliah Drama yang ujian akhirnya adalah benar-benar membuat pementasan drama. Dari matakuliah ini, jadi saya dan teman-teman sekelas dibagi menjadi dua kelompok supaya bisa mempraktikkan teori tentang unsur-unsur drama yang sudah dibahas menjadi pementasan yang bisa dinikmati oleh khalayak umum. Cukup seru dan menantang. Pengalaman tersebut pernah saya ceritakan di sini.

Oh iya, beberapa buku rujukan yang bisa dibaca untuk memahami lebih lanjut tentang Ilmu Sastra adalah:

  1. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif ditulis oleh Nyoman Kutha Ratna.
  2. Literary Theory: An Introduction (Second Edition) ditulis oleh Terry Eagleton.
  3. Literary Theory: The Basics ditulis oleh Hans Bertens.

***

Itulah sedikit cerita tentang pengalaman saya selama menjalani perkuliahan di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Jurusan yang benar-benar saya pilih dengan setulus hati saat mendaftar kuliah, sehingga ketika menjalaninya pun bisa nyaman. Dari jurusan tersebut, selama saya berkuliah, ada tiga fokus utama yang bisa dipilih, yaitu Translation (Penerjemahan), Linguistics (Ilmu Linguistik), dan Literature (Ilmu Sastra). Setiap fokus punya kelebihannya masing-masing, sehingga saat memilih satu dari ketiga fokus tersebut tidak ada yang namanya fokus yang dikastakan seperti saat sekolah dulu (baca: jurusan IPA dipandang lebih tinggi derajatnya daripada jurusan IPS), semuanya sama. Untuk saya pribadi, saya memilih fokus Ilmu Sastra. 

Oke, semoga yang saya ceritakan kali ini bisa sedikit menambah informasi tentang Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, ya.

Post a Comment

2 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.